Saturday, July 30, 2016

Resensi Roman Rumah Kaca (Pramoedya Ananta Toer)



Bagi pecinta sastra di negeri ini, tentu sudah tidak asing lagi dengan nama Pramoedya Ananta Toer atau yang biasa dipanggil dengan Pram ini. Berpuluh judul buku telah dibuatnya, dan banyak diantaranya yang menjadi masterpiece dalam sastra Indonesia. Adapun salah satu karya luar biasa darinya adalah yang berjudul Rumah Kaca (House Of Glass).

Rumah kaca merupakan buku terakhir dari rangkaian tetralogi buku (Bumi manusia, Anak Semua Bangsa,Jejak langkah dan Rumah Kaca) yang ditulisnya saat pengasingan di pulau buru. Buku setebal 644 halaman ini mengangkat tentang kejadian sejarah pada awal - awal embrio terbentuknya negeri ini. Dengan mengambil sudut pandang cerita orang pertama dari seorang polisi-intelegent pemerintahan Hindia belanda berdarah manado bernama Jacques pangemanann yang menceritakan tentang sepak terjang bergeraknya kesadaran berpolitik dan berorganisasi di dalam negeri sekitaran tahun 1911-1919. Yang mana semua pergerakan tersebut berpusat pada seorang tokoh bernama Raden Mas Minke.

Dengan penuturan narasi kronologis yang apik serta penyajian cerita yang menarik dan mengalir, menjadikan buku ini tidak membosankan untuk dibaca meskipun buku ini termasuk tebal serta memuat tema berat. Menariknya kisah dalam buku ini disusun berdasarkan fakta-fakta sejarah negeri ini pada tahun-tahun tersebut. Dan nama-nama tokohnya pun juga tidak asing lagi bagi yang pernah mempelajari sejarah negeri ini. Berikut ini adalah sedikit gambaran umum atau ringkasan cerita dari roman Rumah Kaca ini:

Pada awal - awal kebangkitan negeri ini sekitaran tahun 1911 terdapatlah seorang komisaris polisi dalam pemerintahan kolonial hindia belanda bernama Jacques Pangemanann. Ia adalah orang pribumi berdarah manado yang diambil anak angkat oleh orang prancis. Ia mendapatkan pendidikan dan pandangan eropa. Ia bekerja untuk pemerintah Kolonial. Pangemanann, dalam pemerintahan kolonial ditugasi oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda untuk mengawasi segala arah gerak dari kebangkitan perlawanan orang pribumi yang tak lagi menggunakan senjata fisik namun mulai dengan kesadaran intelektual. Adapun pelopor dari pergerakan tersebut adalah seorang bernama Raden Mas Minke (Tokoh utama pada 3 buku awal), seorang keturunan priyayi yang menjadi gerbong pergerakan tersebut. 

Pangemanann ditugaskan agar dapat menghentikan upaya dari Raden Mas Minke yang terus berupaya memperluas pengaruh pemikirannya kepada pribumi melalui kegiatan organisasinya (Syarekat dagang islam) serta jurnalistik. Yang mana ini adalah kekhawatiran utama dari pemerintah hindia belanda. Berbagai intrik dilakukan oleh pangemanann untuk menghentikan langkah Minke namun tak kunjung berhasil juga, Hingga akhirnya Minke ditangkap dan diasingkan ke Maluku atas surat perintah dari pemerintahan kolonial. Meskipun Minke diasingkan, namun diluar dugaan pergerakan yang dipikirnya akan berahir dengan ketiadaan pemimpinnya, ternyata malah semakin bertambah saja arus pergerakan tersebut dan semakin luas merambah ke daerah daerah lain di pulau jawa. 

Setelah tugas pengasingan tersebut pangemanann mendapatkan promosi jabatan menjadi staff ahli pemerintahan. Dan pada jabatan inilah ia menjadi semakin liar dan licik dalam menjalankan perintah kolonial belanda. Di jabatan inilah ia memainkan peranan sebagai seorang dalang dan otak dalam berbagai percaturan permainan kotor untuk menumbangkan pergerakan organisasi pribumi tersebut. Dari sinilah istilah Rumah Kaca tersebut diambil. Ya, dari ruangan kerjanya tersebut seolah olah ialah yang menggerakkan dan mengendalikan berbagai pergolakan yang terjadi di organisasi pribumi dan mengawasi segala gerak tingkah pemimpin organisasi tersebut. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, berbagai organisasi mulai muncul dimana-mana dan ini menjadi tugas berat bagi pangemanann. 

Memang pangemanann dapat berhasil melumpuhkan pimpinan - pimpinan organisasi yang menentang, namun seolah sia sia belaka. Sebab pergerakan tersebut tak pernah berhenti dan rakyat pribumi pun sudah semakin sadar akan hak-hak hukumnya. Semakin lama pangemanann semakin dibuat frustasi oleh keadaan tersebut. Tahun demi tahun berlalu hingga akhirnya selesai juga masa pengasingan minke di maluku, namun sungguh tragis nasib minke karena sesampainya di batavia ia baru menyadari bahwa berbagai aset pribadi maupun perusahaan yang dimilikinya ternyata telah berpindah tangan karena dibekukan oleh pemerintah hindia belanda. Hingga akhirnya ia meninggal karena sebab yang kemungkinan diracun oleh seseorang dan tak tertolong lagi. Dan pada saat yang sama setelah beberapa tahun sejak bergantinya gubernur jendral, tugas pangemanann semakin sedikit karena kebijakan Gubernur jendral yang baru sangat bernuansa politis dan mengambil jalan damai dalam tiap langkahnya. Sehingga ia merasa semakin tak berguna dan tentu semakin tua sebab usia. 

Dan pada bab - bab terakhir nya diceritakan bahwa kondisi pangemanann semakin memburuk ditambah dengan datangnya sanikem dari prancis yang menanyakan keberadaan Minke. Dan disinilah pangemanann menyesali berbagi tindakan buruknya tersebut. Ya dalam Roman ini pergolakan pribadi memang menjadi bumbu-bumbu menarik dalam alur ceritanya. Adapun roman rumah Kaca ini ditutup dengan kata-kata yang sangat indah yakni "Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles" Dia Rendahkan mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka Yang Terhina.

Ya itulah sedikit gambaran mengenai Roman Rumah kaca karya Pramoedya Ananta Toer ini. Keseluruhan secara pribadi menurut saya, ini merupakan karya yang sangat layak untuk dikoleksi. Selain menghayati akan keindahan sastra disini kita juga dapat belajar akan sejarah negeri ini dengan lebih menyenangkan. Dan saya kira banyak dari koleksi buku saya yang terlibas habis dari segi kualitas oleh buku ini. Somoga sedikit resensi ini bisa menjadi pertimbangan sebelum masuk dalam daftar baca / beli anda.