Wednesday, April 19, 2017

Menyikapi Quarter Life Crisis

Saat ini usiaku sudah 26 tahun. Usia yang tak bisa diangap main main lagi. Ada yang bilang pada usia ini seseorang akan mengalami yang namanya life crisis age. Begitu banyak pertanyaan akan kehidupan masa depan serta pertanyaan tentang keputusan keputusan di masa silam. Ya, memang benar pada usiaku antara 25-26 kini begitu banyak sekali pertanyaan yang menghampiri terkait dengan masa depan. Hal yang menjadi penyebab situasi diri yang aneh ini tidak lain adalah melihat pencapaian diri dibandingkan dengan teman teman seumur. Si A sudah menikah dan punya anak lucu, Si B sudah jadi karyawan tetap di perusahaan besar, Si C udah jadi Bos dan bisa ke luar negeri, dan masih banyak lainnya.

Saat ini kumasih di semester 8 , dalam tahap menyelesaikan Tugas Akhir kuliah. Masih berkutat dengan diktat kuliah, konsul dan revisi. Sedangkan kawan kawanku sudah banyak yang menikah, memiliki anak, membangun keluarga. Memang banyak dari kawanku mulai dari SD - SMK dulu yang hanya sampai menuntaskan pendidikannya di tingkat SMA saja. Setelahnya memilih untuk bekerja dan menikah beberapa tahun kemudian, sebab memang memerlukan banyak biaya untuk kuliah.

Kalau aku dulu memang semasa SMK memang sudah ingin kuliah, meskipun saat itu tak ada biaya untuk kesana. Sehingga Aku bekerja hampir 3,5 tahun untuk mencari biaya kuliah ini. Tak ayal, ketika beberapa temanku yang kuliah sehabis SMK akan lulus, Aku justru baru mau masuk Kuliah. Memulai perjalanan sebagai pelajar dari awal lagi, yang sebelumnya terbiasa dengan aktifitas bekerja. 

Saat ini beberapa teman seumuran sudah memiliki pekerjaan yang mungkin bisa dikatakan bisa jadi tumpuan hidup berkeluarga. Ada yang jadi PNS, Karyawan swasta ataupun berwirausaha. Meskipun ada pula yang masih penganguran setelah di PHK dari tempatnya bekerja. Ya jika melihat itu semua kadang terpikir olehku, seperti ada pertanyaan " apakah keputusanku di masa lalu untuk kuliah ini sudah tepat ? "

Namun, segera pertanyaan itu kujawab dangan tegas dan kutepis mentah mentah. Tentu saja aku tak menyesali akan keputusanku untuk kuliah ini, sebab ketika kuliah inilah wawasanku terbuka lebar, aku jadi tau apa yang benar benar ku sukai (passion) dan bisa belajar sesuatu yang dulu ku benci ternyata sekarang begitu kusukai. Dan tentunya kudapati keluarga dan sahabat baru saat masa kuliah ini.

Terlepas dari naik turun kondisi diri dengan semua pertanyaan itu tadi. Aku percaya bahwa kondisi saat ini bukan sesuatu yang kebetulan, sudah pasti Allah SWT memiliki suatu rencana pasti diatas apa yang kurencanakan sendiri. Biarlah rasa ketidakpastian diri semasa life crisis age ini menjadi penyemangat bagiku untuk terus bergerak dan mengusahakan yang terbaik dalam mewujudkan mimpi.

Adapun mimpiku  yang selalu terngiang dalam benak adalah Kota New York, The big apple. Sungguh aku ingin sekali merasakan atmosfer kota ini, bagaimana tinggal dan melihat liberty statue yang berdiri megah di kota ini. Itulah salah satu mimpi besarku. Need a much efford to make it happen, and hope it will be come true. Dan memang setiap orang sudah punya jalan masing masing. Akan ada episode bagi tiap diri, sebab seseorang punya zona nya sendiri. Jadi mungkin sikap terbaik untuk melewati masa masa ini ialah dengan menikmati setiap dinamikanya, entah kecemasan ataupun rasa ketidakpastian yang meliput diri dengan langkah pasti. Bagaimanapun hasilnya, just do my best for it.

Tuesday, April 4, 2017

Resensi Balada Sungai Musi - Marga T




Membaca Novel klasik memang seringkali terasa mengasikkan. Beberapa hari lalu, kudapati sebuah buku dengan judul begitu menarik, tak pikir panjang langsung kupinjamlah buku tersebut dari Perpusda Jogja. Novel tersebut berjudul Balada Sungai Musi, karangan dari Marga T. Nama yang tak asing, namun belum pernah kubaca satupun karyanya. Dari pengantar buku, kudapati bahwa ini adalah debut karya pertamanya yang terbit pada tahun 1964. Berikut ini adalah sedikit gambaran umum ataupun sedikit resensi dari buku tersebut.

Dari judulnya sudah dapat ditebak dimana asal mula kisah ini berasal. Sungai Musi, ya sungai yang identik dengan Palembang, Sumatra Selatan. Sebelumnya perlu diketahui jika pada buku ini tersapat dua bagian, yang pertama bercerita kala sebelum kemerdekaan. Sedang yang kedua sesudah kemerdekaan. Pada bagian pertama lebih banyak memperkenalkan tokoh-tokoh dari novel ini serta gambaran peristiwa yang menjadi pokok dari bagian kedua.

Cerita ini dimulai dengan kisah dari sebuah keluarga saudagar kaya di Palembang bernama Basarudin beserta istri dan tiga orang anaknya. Ia adalah saudagar karet, memiliki toko kelontong besar dan sawah ternah yang banyak. Pak Basarudin disifatkan baik hati dan sangat dermawan. Ia tinggal bersama Istri (Mak Mike) dan anak bungsu perempuannya (Mike). Anak Sulungnya (Zainal) kuliah Kehakiman di Jakarta, sedangkan anak keduanya (Feisal) masih SMA di Medan. Meskipun serba berkecukupan ia tetap hidup sederhana. Malahan hasil usahanya banyak ia gunakan untuk membantu keuangan para pejuang kemerdekaan secara diam diam.

Keluarga ini begitu bahagia awalnya, hingga suatu hari datanglah seorang Indo bernama Karel menemui Pak Basarudin. Dari pertemuan itu terjalinlah persahabatan antara keduanya. Makin hari makin dekat, tanpa ada curiga sedikitpun oleh Pak Basarudin. Setelah tahun berganti, ketika keponakannya yang seorang pejuang datang menginap dirumahnya, terdengarlah kabar dari Engku Aziz(sahabat karib Pak Basarudin) bahwa para tantara belanda sedang menuju ke rumahnya. Padahal tak seorangpun tahu akan keponakannya yang seorang pejuang tersebut, terkecuali si Indo yang ia anggap sebagai sahabatnya itu. Ternyata Indo tersebut menghianatinya.

Dan singkatnya, meskipun telah bersembunyi di tempat yang kiranya aman, tertangkap pulalah kemenakannya tersebut. Pak Basarudin pun secara berani mengakui perbuatannya tersebut, meskipun ia tahu resiko hal tersebut bagi keluarganya. Alhasil mereka (Pak Basarudin, Mak Mike,Mike dan si Ponakan) ditangkap dan beberapa minggu kemudian dihukum mati. Selanjutnya dikisahkan kehidupan Feisal di Medan serta perjuangannya menjadi bagian dari gerakan bawah tanah para pelajar dimana pada suatu ketika ia mengalami luka di tungkainya dan harus diamputasi. Lalu kisah Zainal yang kuliah di Jakarta.

Pada bagian kedua, cerita dimulai sejak 1948 serta lebih banyak berkisah mengenai kehidupan Feisal selam kuliah Kedokteran di Jakarta (Paksaan dari Abangnya) serta perjuangannya menaklukkan diri sendiri sebab dari cacat kakinya. Tak lupa pula mengenai romansa percintaan yang mengambang antara ia dengan seorang mojang Bandung bernama Vivi. Yang dijumpainya ketika pemakaman Kakaknya (Zainal) yang tewas saat bertugas sebagai tantara di daerah selatan Bandung.

Feisal mencintai Vivi, begitupun sebaliknya. Namun keduanya sama – sama tidak mau mengungkapkan perasaanya. Feisal malu dengan cacat kakinya dan takut ditolak, sedang Vivi malu jua sebagai seorang wanita. Kisah cintanya hanya dikisahkan melalui surat menyurat dan perasaan baper saja. Dan bagian ini yang sungguh banyak mengambil porsi dalam ceritanya. Dan secara pribadi, bagiku terasa begitu konyol dan kurang mengena. Di bagian terakhir, Feisal telah menjadi dokter mereka berdua akhirnya menikah dan dikaruniai dua orang anak. Ia telah berhasil mengalahkan ketakutan dirinya sendiri.

Pesan dari Novel ini secara umum ialah mengajak pembacanya bahwa meskipun pernah jatuh, maka yang perlu dilakukan adalah bangkit dan menghadapi kepahitan itu tadi. Keseluruhan novel ini cukup menghibur sebab menggunakan gaya bahasa tempo dulu yang lincah dan asik meskipun alur ceritanya masih kurang nendang terutama perbedaan topik antara Bagian satu dengan dua yang seperti tidak nyambung. Namun tetap sungguh apresiasi besar bagi penulisnya yang telah mewarnai khasanah sastra Indonesia pada tahun 60an ini.