Sore
itu di jalan selatan kota Jogja, Terlihat iring – iringan tiga bus berukuran
sedang yang membawa rombongan mahasiswa yang hendak menjalani makrab jurusan.
Mereka adalah mahasiswa jurusan Geografi dari sebuah kampus negeri di Kota
Jogja. Bus–bus tersebut mengarah ke pantai parangkusumo. Hari sudah menunjukkan
pukul 4 sore ketika rombongan tersebut sampai di lahan parkiran. Perlahan satu
persatu pintu bus terbuka, terlihat pertama orang yang keluar itu adalah
seorang Pemuda berusia sekitar 21 tahunan dangan seragam kaos polo merah yang
membawa backpack kecil. Perawakannya sedang dengan wajah khas orang melayu.
Dialah Danis, mahasiswa semester 5 dari palembang. Dialah yang mengetuai acara
ini. Dari raut mukanya dia nampak orang yang Calm.
Semua peserta serta panitia telah turun dari bus, segeralah mereka berbaris rapi menuju gumuk pasir parangkusumo yang lokasinya tak begitu jauh dari parkiran tersebut. Ada 80 peserta serta 50 panitia dalam acara ini. Para peserta terlihat riang-riang saja, ini tidak lebih adalah acara makrab kekeluargaan dan tak ada kekerasan sama sekali.
Sejak Turun dari Bus Danis tak banyak bicara, ia hanya berkata seperlunya saja memberikan instruksi kepada seluruh panitia dan ketua lapangan acara ini, karena semua pekerjaan teknis memimpin acara sudah diplotkan ke Jordan Sebagai Ketua lapangan. Tak ada pekerjaan teknis baginya sore itu. Jadi ia lebih banyak untuk mengawasi teman – teman panitia dari kejauhan. Semua peserta beserta pendamping terlihat berbaris rapi menuju lokasi perkemahanr. Kala itu ia berada di belakang dan sengaja memautkan diri agak jauh dari rombongan. Ia berjalan santai menikmati matahari sore yang perlahan – lahan mulai menampakkan cahaya keemasan. Angin pantai pun tak mau kalah, ia berhembus cepat menembus pohon – pohon cemara yang tumbuh sepanjang jalan. Bulan september adalah salah satu moment yang bagus untuk melihat keindahan sunset di pantai ini.
Dari arah belakang terdengar suara motor mendekat ke arahnya, Danis masih terpesona dengan keindahan sore Parangkusumo. Semakin dakat tiba–tiba ia dibuat kaget oleh suara klakson motor tersebut.
tiiit
titt
“Sialan” gerutu danis dalam hati, kemudian
ditengoknya arah belakang.
“Mas Danis, Jangan
kebanyakan nglamun lo” suara seorang perempuan
Ternyata Risa, panitia
konsumsi. Mahasiswi semester 3 dari Bandung
“Butuh boncengan ga Mas”
sapanya dengan wajah ceria
“Duluan saja Ris” jawab
Danis dengan senyum yang dipaksakan
“Okelah Mas, daaa” Risapun
berlalu mengejar rombongan
Percaya atau tidak, telah
lama diam–diam Risa menaruh hati pada Danis semenjak mengenal pemuda itu
semenjak Ospek. Namun sayang gayung itu belum bersambut jua, namun Risa tak
pernah padam. Ia hanya mencoba menaruh harapan.Danispun sebenarnya sudah
mengetahui bahwa Risa menaruh hati padanya, namun ia tak memberi tanggapan
apapun akan hal tersebut.
Entahlah
Mengapa suasana sore itu membawa pikiran Danis pada seorang perempuan yang
telah membekukan hatinya. Seseorang bernama Indah yang hadir pada tahun
terakhir SMA. Seseorang yang mampu membuat Danis rela melakukan apapun dan yang
telah membuat hatinya gelap diliput kabut. Apalah yang istimewa dari Indah
pikirnya. Rasa benci ataukah masih ada perasaan padanya. Ia sendiri masih kabur
memahami ini. Bukankah di Jogja ribuan mahasiswi cantik menjamur di tiap – tiap
sudut. Lagipula soal penampilan dia juga tidak begitu jelek, malah banyak lawan
jenis yang memuji tampangnya. Kadang ia menertawai dirinya sendiri. Sungguh
konyol, tapi begitulah kenyataannya.
Malam
itu cuaca cerah, langit malam berhias bulan sabit bersama bintang – bintang
kemilauan menampakkan keindahannya. Semua peserta terlihat membentuk sebuah
lingkaran besar di gumuk pasir malam itu. masing masing dari mereka membawa
senter dan di tengah lingkaran tersebut tersulut puluhan lilin besar yang
berlindungkan cerobong kaca membentuk
piringan besar seperti api unggun. Malam sudah nampak sepi, meskipun waktu baru
berada pada angka 9 malam. Yang terdengar hanyalah suara semilir angin malam
dari laut selatan. Sudah saatnya acara perenungan, dimana sehabis matahari
tenggelam hingga sekarang mereka telah melakukan bermacam kegiatan seperti
games serta solidarity time yang lumayan menguras tenaga.
Sang
pembawa acara sudah berada di tengah lingkaran, ia sepertinya sudah bersiap
dengan berbagai cerita maupun gombalan sandiwara untuk disuguhkan kepada
mahasiswa – mahasiswa tersebut seperti tahun-tahun sebelumnya. Danis beserta
panitia lain berada dibelakang peserta. Mungkin ini akan sedikit memberikan
hiburan baginya. Tak jauh, terlihat Risa yang dari tadi mencuri pandang pada
Danis. Dilihatnya Danis Malam itu dengan samar–samar, wajah yang tertampak
cahaya lilin itu begitu memesona hatinya. Lain halnya dengan Danis yang
pandangannya tertuju pada lilin–lilin di
tengah sana. Ia sibuk bergumul dengan pikirannya.
“Mengapa dulu kukenal Indah, mengapa ku mengenalnya dan bodohnya mengapa
ku mencintainya. Mengapalah ia tak mau pergi dari pikiran ini, apalah yang
salah denganku ini ? banyak wanita yang menanti, namun tetap saja perempuan
satu ini selalu datang membayang” Pikirannya masih menerawang, sampai
beberapa saat sebelum tersadar kembali logikanya.
Terdengarlah suara pembawa
acara yang mencoba membuat suasana menjadi lebih hening dan Khidmad
”....terimalah masa lalu yang sudah terlampau, biarlah ia mengalir ke muara,
jangan kau halangi jalannya dengan egomu. hidupmu adalah sekarang, bahagiamu
ada di depan ...”kata pembawa acara.
“Betapa bodoh seorang lelaki memikirkan perempuan yang berkhianat,
betapa bodoh seorang lelaki yang bergelut dengan perasaan menciutkan, betapa
bodoh lelaki yang lupa akan rahmat sekarang dan harapan masa depan, Oh God. How
stupid me....”
Setelah
perenunungan, seluruh peserta di persilahkan untuk istirahat sembari menunggu
jam 12. Mereka diminta untuk tidur di lautan pasir ituataupun kalau tidak bisa menikmati
suguhan langit malam. Semua panitia mulai bersiap untuk kegiatan selanjutnya,
yakni perjalanan menuju bukit Gupit. Bukit ini berada di sebelah timur
parangtritis dan memerlukan waktu tempuh berjalan kaki selama satu jam dari
parkir kendaraan. Beberapa diantara panitia sudah sibuk mempersiapkan pos dalam
perjalanan. Semua panitia yang tidak mendampingi peserta mulai berjalan duluan
untuk menempati pos mereka. Dan kebetulan Danis dan Risa menempati pos yang
sama di pos terakhir yang ada di dekat puncak Gupit.
Mereka
berjalan beriringan bersama teman teman panitia yang lain, mereka memilih
berjalan dibelakang. Awalnya risa terlihat bersemangat untuk memperturut rute
jalan yang lumayan terjal dan panjang itu, ia beberapa langkah didepan Danis
ingin mengejar teman yang lain. Danis terheran, sungguh lucu melihat tingkah
perempuan di depannya ini, ia hanya senyum-senyum sendiri di perjalanan itu,
namun senyum itu tersamarkan oleh gelap malam tanpa penerang. Risa tak
mengetahui hal tersebut. Beberapa saat kemudian dilihatnya risa berhenti
berjalan. Dilihanya ia nampak kelelahan mendaki jalan bukit tersebut. Nafasnya
terengah - engah.
“Mas, pos kita masih jauh
tidak ?” katanya
“masih lumayan Ris” jawab
Danis dengan senyum tersamar
“Lumayan jauh ?”
“ya begitulah, masih ada
tiga tanjakan lagi” jawab danis
“Mampus”
Mereka berdua mulai jalan
lagi, Danis berjalan santai saja. Beberapa teman panitia sudah menempati pos
mereka masing - masing. Risa ada di depan, tak berselang lama ia kembali
berhenti.
“Mas, istirahat aja dulu ya,
sumpah capek banget”
“tinggal satu tanjakan Ris,
nanggung banget berhenti disini” jawab Danis terkekeh
“aduh, sebentar ajalah mas”
“di depan situ
pemandangannya bagus lo, pos kita ada di situ”
“huh...” gerutu risa mulai
melangkahkan kaki. Ia terpaksa daripada ditinggal sendirian
Merekapun kembali berjalan
menapaki tanjakan terakhir, risa tak mau kalah ia tak ingin dianggap lemah, ia
berjalan buru – buru didepan.
“santai aja Ris”
Danis tersenyum saja. Dan
kemudian teringat kebajikan bahwa kala mendaki sebuah gunung ataupun yang
serupa, akan terlihat bagaimana sifat asli orang tersebut. Ia melihat tingkah
Risa yang kelihatan childish itu dan tak sadar bahwa perlahan timbul benih suka
dihatinya. Segeralah Danis mendekati Risa yang berjalan semakin melamban karena
terengah – engah.
“Biar aku yang bawa ranselmu”
sergah Danis mengambil tas Risa di punggungnya. Risa tak menjawab, ia hanya
menunduk kelelahan dan sepertinya mengiyakan. Ia berpikir sejenak apakah ini
sinyal dari Danis.
Tanjakan terakhir memang
yang paling berat, Risa seolah sudah tak mampu lagi berjalan
“Masih jauh mas ?”
“Udah deket kok, santai aja
ris, Gak usah terburu – buru”
Tiba–tiba Risa menggamit
lengan Danis untuk berpegangan, dirasainya lengan dan jari pemuda itu. Danis
hanya diam, pikirannya mencair seolah kebekuan masa lalunya mencair seketika
itu juga. Digenggamnya erat tangan Risa dan dibantunya ia naik keatas. Dan tak
berselang lama sampailah mereka di pos puncak. Sembari menunggu kedatangan
peserta ke pos mereka menjulurkan kaki di dekat tebing itu menikmati keindahan
kerlap kerlip lampu kawasan parangtritis yang begitu indah dari bukit atas
sana.
Hati
itu telah mencair
Menjelang pukul 2 malam,
terlihat dalam bayang-bayang berlatarkan cahaya kerlipan lampu, Dua sosok
tersebut telah bersanding dalam sebuah ikatan perasaan. Mungkin memang sudah
saatnya untuk melepaskan yang telah berlalu.
Dan pagi itu mentari tampak
begitu indah, dan semua peserta seolah tersenyum dipagi itu kepadanya. Entahlah...
(Terinspirasi dari lagu The beatles - Here Come the Sun)