Tuesday, April 4, 2017

Resensi Balada Sungai Musi - Marga T




Membaca Novel klasik memang seringkali terasa mengasikkan. Beberapa hari lalu, kudapati sebuah buku dengan judul begitu menarik, tak pikir panjang langsung kupinjamlah buku tersebut dari Perpusda Jogja. Novel tersebut berjudul Balada Sungai Musi, karangan dari Marga T. Nama yang tak asing, namun belum pernah kubaca satupun karyanya. Dari pengantar buku, kudapati bahwa ini adalah debut karya pertamanya yang terbit pada tahun 1964. Berikut ini adalah sedikit gambaran umum ataupun sedikit resensi dari buku tersebut.

Dari judulnya sudah dapat ditebak dimana asal mula kisah ini berasal. Sungai Musi, ya sungai yang identik dengan Palembang, Sumatra Selatan. Sebelumnya perlu diketahui jika pada buku ini tersapat dua bagian, yang pertama bercerita kala sebelum kemerdekaan. Sedang yang kedua sesudah kemerdekaan. Pada bagian pertama lebih banyak memperkenalkan tokoh-tokoh dari novel ini serta gambaran peristiwa yang menjadi pokok dari bagian kedua.

Cerita ini dimulai dengan kisah dari sebuah keluarga saudagar kaya di Palembang bernama Basarudin beserta istri dan tiga orang anaknya. Ia adalah saudagar karet, memiliki toko kelontong besar dan sawah ternah yang banyak. Pak Basarudin disifatkan baik hati dan sangat dermawan. Ia tinggal bersama Istri (Mak Mike) dan anak bungsu perempuannya (Mike). Anak Sulungnya (Zainal) kuliah Kehakiman di Jakarta, sedangkan anak keduanya (Feisal) masih SMA di Medan. Meskipun serba berkecukupan ia tetap hidup sederhana. Malahan hasil usahanya banyak ia gunakan untuk membantu keuangan para pejuang kemerdekaan secara diam diam.

Keluarga ini begitu bahagia awalnya, hingga suatu hari datanglah seorang Indo bernama Karel menemui Pak Basarudin. Dari pertemuan itu terjalinlah persahabatan antara keduanya. Makin hari makin dekat, tanpa ada curiga sedikitpun oleh Pak Basarudin. Setelah tahun berganti, ketika keponakannya yang seorang pejuang datang menginap dirumahnya, terdengarlah kabar dari Engku Aziz(sahabat karib Pak Basarudin) bahwa para tantara belanda sedang menuju ke rumahnya. Padahal tak seorangpun tahu akan keponakannya yang seorang pejuang tersebut, terkecuali si Indo yang ia anggap sebagai sahabatnya itu. Ternyata Indo tersebut menghianatinya.

Dan singkatnya, meskipun telah bersembunyi di tempat yang kiranya aman, tertangkap pulalah kemenakannya tersebut. Pak Basarudin pun secara berani mengakui perbuatannya tersebut, meskipun ia tahu resiko hal tersebut bagi keluarganya. Alhasil mereka (Pak Basarudin, Mak Mike,Mike dan si Ponakan) ditangkap dan beberapa minggu kemudian dihukum mati. Selanjutnya dikisahkan kehidupan Feisal di Medan serta perjuangannya menjadi bagian dari gerakan bawah tanah para pelajar dimana pada suatu ketika ia mengalami luka di tungkainya dan harus diamputasi. Lalu kisah Zainal yang kuliah di Jakarta.

Pada bagian kedua, cerita dimulai sejak 1948 serta lebih banyak berkisah mengenai kehidupan Feisal selam kuliah Kedokteran di Jakarta (Paksaan dari Abangnya) serta perjuangannya menaklukkan diri sendiri sebab dari cacat kakinya. Tak lupa pula mengenai romansa percintaan yang mengambang antara ia dengan seorang mojang Bandung bernama Vivi. Yang dijumpainya ketika pemakaman Kakaknya (Zainal) yang tewas saat bertugas sebagai tantara di daerah selatan Bandung.

Feisal mencintai Vivi, begitupun sebaliknya. Namun keduanya sama – sama tidak mau mengungkapkan perasaanya. Feisal malu dengan cacat kakinya dan takut ditolak, sedang Vivi malu jua sebagai seorang wanita. Kisah cintanya hanya dikisahkan melalui surat menyurat dan perasaan baper saja. Dan bagian ini yang sungguh banyak mengambil porsi dalam ceritanya. Dan secara pribadi, bagiku terasa begitu konyol dan kurang mengena. Di bagian terakhir, Feisal telah menjadi dokter mereka berdua akhirnya menikah dan dikaruniai dua orang anak. Ia telah berhasil mengalahkan ketakutan dirinya sendiri.

Pesan dari Novel ini secara umum ialah mengajak pembacanya bahwa meskipun pernah jatuh, maka yang perlu dilakukan adalah bangkit dan menghadapi kepahitan itu tadi. Keseluruhan novel ini cukup menghibur sebab menggunakan gaya bahasa tempo dulu yang lincah dan asik meskipun alur ceritanya masih kurang nendang terutama perbedaan topik antara Bagian satu dengan dua yang seperti tidak nyambung. Namun tetap sungguh apresiasi besar bagi penulisnya yang telah mewarnai khasanah sastra Indonesia pada tahun 60an ini.

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete