Thursday, April 30, 2015

A Perfect Lie


Kata memang ampuh,
Bisa kaubelok bisa kau bumbu,
Kadang elok kadang seperti racun,

Namun satu hal,
Raga itu selalu jujur,
Tak urus semua yang terucap,

Kau pernah bertanya,
Mengapa mataku ini selalu jujur,
Sungguh ta sanggup,
Tak sanggup kataku yakinkanmu,

Aku heran, Segalanya jujur,
Terkecuali lidah dan persangkaan, Namun kenapa bisa lidah menguasai kita ?,
Dan sepertinya kita membiarkannya,
Kamulah penentunya.

Wednesday, April 29, 2015

Aku Insaf Mencintaimu

Bila diingatnya akan masa lalunya, akan buah – buah cerita karangan yang selalu diilhaminya. Apakah benar seperti inikah kenyataan yang harus benar benar diterimanya. Kenyataan yang berbilang terbalik dari semua angan yang ia telah gantungkan kepadanya. Semua rangkaian kisah yang telah ia susun dalam benaknya akan kisah hidupnya yang dicarinya, kini hanyalah puing – puing kebahagiaan semu. Sekarang telah jelas bagaimana kelanjutan akan hubungannya. Hubungannya dengan seseorang yang dikiranya kelak akan menjadi iman dalam hidupnya.

Sekarang apalah yang akan diharapkan karena semua telah jelas. Ketika cinta suci kesetiaan menjadi hal yang tak lagi bisa masuk akal. Namun sungguh apa dikata, entahlah mengapa dalam hatinya ia belum bisa menerima semua apa yang talah nyata akan perbuatan tunanganya itu. ia terheran – heran dengan dirinya sendiri bagaimana ia bisa begitu cintanya dengan orang yang tak telah melukai hatinya bertubi - tubi. Sekali dua kali mungkin wajar saja. Namun untuk kesekian kalinya dan ia masih mencintainya, apalah itu namanya. Apakah benar demikian itu yang dinamai cinta. Begitu bodoh dan butanya diri dibuat oleh itu perasaan. Alangkah buruknya apa yang bersembunyi dibalik perasaan jika demikian adanya. Ini pulalah yang sekarang dirasai oleh Dinda, yang sedang bermenung – menung dalam kamarnya. Mengingat semua apa yang telah dilakukan oleh tunangannya itu padanya kemarin malam serta kesakitan di untaian hari – hari silam.

Kemarin malam, saat ia berkehendak untuk membeli sepasang baju untuk oleh – oleh untuk kedua adiknya di sebuah kompleks pusat perbelanjaan & hotel di pusat kota jogja yang termahsyur itu. ketika telah sampai di dekat gerbang masuknya, terlihatlah sebuah mobil sedan putih. Mobil yang sangat tidak asing baginya, mobil dari seseorang yang menjadi impiannya serta ibadahnya selama ini, Hasan. Entahlah apa yang terlintas dipikirannya, terasa sedikit kejanggalan pikirnya. Tadi siang ketika hendak menyampaikan ajakannya pada Hasan untuk menemaninya. Hasan berbilang bahwa akan ada pertemuan pekerjaan penting dengan seseorang dari Surabaya hingga nanti malam. Ia berbilang bahwa jam 10.00 ia baru akan mengunjungi Dinda jikalau tak ada alang rintang menghadang. Sekarang baru setengah tujuh malam dan pertemuan seharusnya masih berjalan. 

Dinda berdiri tegak didepan gerbang plaza tersebut, matanya mengiringi gerak laju mobil itu berhenti. Dilihatnya agak begitu samar dalam kejauhan, ternyata benarlah apa yang ia duga. Itu Hasan, namun mengapa ada seorang perempuan juga turun dari mobilnya. Apakah itu orang yang dari surabaya yang dimaksudnya. Bukankah kalau tak salah ingat Dinda, hasan mengatakan kalau klien tersebut bernama Pak .... ah lupalah ingatan Dinda. Namun apa yang dilihanya kini ini apakah Pak ....dalam benak terngiang beribu suara lidah berbisik mengajak berprasangka buruk. Gejolak hati tak terbendung lagi, rasa sakit yang selama ini berusaha ditutuppinya terkoyak lagi sebegitu besarnya membekas di hatinya. Seperti tidak terima, hatinya mengajak dirinya untuk bergegas ke hotel yang tidak jauh dari tempat berdirinya sekarang ini. Meminta penjelasan, pengakuan serta kebenaran akan semua ini. Ia sungguh berharap bahwa apa yang dilihatnya tiadalah benar-benar nyata. Karena entah mengapa ada sudut kecil dihatinya yang masih akan terus berharap akan cinta dari Hasan yang sudah benar – benar jelas akan belang dalam dirinya.

Ia berjalan lemah menuju hotel itu,tak terasa air mata Dinda menetes, gemuruh perasaan dihatinya bergelut begitu hebatnya dalam hatinya. Berperanglah antara pengharapan dan kenyataan dalam dirinya. Langkah – langkahnya seperti tak tentu arah, biarlah kaki saja yang menentukan tak perdulilah ia. Kini di pelataran depan hotel tersebut. Ia hanya menerawang seperti tak percaya, dilihatnya tunangannya tersebut bergandengan tangan begitu mesranya dalam lobby sana. Ia terpaku diam di pelataran tersebut berkhidmad mencoba memahami semuanya. Dinikmatinya kesakitan itu, ditelannya sesuka hati, biarlah puas derita diri ini menanggung butanya mata hatinya. Hilir mudik orang turun dari mobil mereka menuju hotel tak adapun dipedulikannya, bahkan sapaan santun dari karyawan hotelpun tak ditanggapinya. Hanya senyuman getir dibalaskan pada karyawan tersebut. 

Setelah sekian lama masuklah ia kedalam hotel tersebut, ditanyainya receptionis hotel tersebut mengenai seseorang yang bernama Hasan adakah benar menyewa kamar di hotel tersebut. Dibenarkanlah keterangan tersebut, Dinda mencoba menanyakan di kamar mana Hasan berada, namun apalah guna karena barang tentu hotel bintang lima seperti ini tak akan pernah memberitahukan informasi pribadi akan para tamu-tamunya. Dindapun mengetahui hal ini, pikirnya barangkali sang resceptionis tersebut berbelas kasih atau sekali akan khilaf memberitahunya. Iapun menuju sebuah sofa di sudut lobby yang tak terlihat dari arah dalam. Berduduklah ia disana sambil memutar balik segala ingatannya akan kisah dirinya bersama Hasan, satu demi satu dicoba di bukakan bebal benang dalamnya. Dalam kesendirian tersebut terkadang ia tersenyum getir, tertawa tiada jelas, dan terkadang muram serta sesal saja tegambar di raut mukanya kala itu.

Jam sudah menunjukkan pukul 9.15 malam, Dinda telah sadar akan keadaannya. Kendalinya sudah terjaga dan yang terpenting ia sudah memiliki keputusan dalam hatinya. Tak berapa lama terlihatlah olehnya Hasan dengan wanita tersebut di Receptionis, gelegak tawa ringan menghiasi diri mereka. Dinda benar – benar muak melihat semua itu berdirilah ia. Kemudian dihampirinya Hasan yang tengah beranjak menuju pintu keluar.

“Hasan”Panggil dinda dari belakang. 

Hasanpun berbalik mengikutu arah suara itu berasal. Terkejutlah ia akan sesaat. Dan bingunglah wanita disampingnya, dan sepertinya menanyakan sesuatu kepada Hasan dengan berbisik pelan. 

entahlah, saya tak tahu

Tertusuk sedalam – dalamnyalah hati Dinda mendengar kata – kata itu, tak sanggup lagi ia berkata – kata, air mata telah bengalir deras dimatanya. Diambilnyalah cincin pertunanagan di jarinya. Dan dilemparkanlah cincin itu kepada Hasan, dan berlarilah ia keluar dari hotel itu. mencari taxi untuk mengantarnya pulang ke Kostnya. Hasan sembari tadi hanya tercengang saja, seperti tak memahami apa yang telah terjadi. Bodohnya pria tersebut, yang menganggap perasaan sebagai permainan belaka. Dan membiarkan berlian jatuh kedalam derasnya arus sungai. Semalaman itu menangislah dinda dalam kamarnya, dering telpon maupun pesan dari Hasan tak tihiraukannya lagi. Baginya cukup, cukup sudah semua kesakitan dari pria bernama Hasan itu. ia benar – benar insaf. Dan tak ingin lagi memberikan kesempatan perasaan cinta tersebut berkembang lagi. Meskipun tak tipungkiri pula bahwa ada sudut kecil dihatinya yang telah terpatri akan diri hasan yang tak akan pernah ia bisa hapuskan. 

            Pagi tadi sempat dibukannya berbagai pesan dari hasan di Media sosial maupun di pesan instan. Permohonan maaf, itulah semua yang tertulis, ia sangat menyesal. Dinda telah bulat, pertunangan ini tak bisa dilanjutkan lagi. Kardus telah siap, dan akan diantarkanlah Kardus itu tadi ke Kontrakan Hasan di Jogja. Biarlah semua kenangan maupun harapan yang tersimpan dalam kardus tersebut dibalikkan kepada pemberinya. Seseorang yang belum memahami akan kesetiaan dan pengorbanan cinta dari seseorang. Biarlah Tuhan yang akan mengajari dan menyadarkan akan kebebalannya itu.

Tuesday, April 28, 2015

Bunga Kemarau









Hanya air,
Maka bunga akan tersenyum indah kepada dunia,
Begitupun sebuah jiwa,
Butuh air seperti bunga,
Ia selalu menanti datangnya hujan,
Berkah Tuhan yang selalu dirindukan.

Sekian lama ia menunggu,
Dalam balutan kemarau panjang ini,
Tiada sangka tiada duga,
Muncullah keajaiban yang menghanyutkan hati,
Tiba-tiba ada air deras mengucur diatasnya.

Lantas terbukalah mata itu,
Cahaya kecil merambat perlahan di sorotnya,
Terlihat sudah siapa gerangan malaikat itu ,
Tertegun terdiam,
Biarlah mata dan raut muka itu saja yang menjelaskan
akan pengharapan dihatinya.

Monday, April 27, 2015

Sunset Mengantarmu Padaku


Sudah lumayan lama kuberdiri di depan Aula kampus ini, menunggu. Siapakah yang kutunggu ? hanya hati yang tahu. Aku tiada menunggu seseorang, suasanalah yang kutunggu. Namun apakah benar - benar demikian adanya, apa itu hanya kebohongan pikiran saja. Sore hari di depan Aula kampus memanglah selalu menawan akan pemandangan senja harinya. Dan memang semester kali ini aku ambil jadwal kuliah siang hingga sore.

Biasa kala sore habis kuliah kuhabiskan setengah jam disini memandangi lukisan Tuhan yang tiada tara indahnya. Cahaya sore memang seperti obat, yang mampu menyembuhkan luka jiwa yang kasat terlihat.

Dan entahlah mengapa setelah sekian lama menyendiri menutup hati, beberapa minggu ini kulihat seseorang yang terlihat berbeda keindahannya dari orang -orang lainnya. Hanya keindahanlah yang nampak dalam auranya. Namunlah sayang aku tak tahu siapalah dia, yang kutahu kadang sesekali dalam beberapa hari kulihat ia lewat di dekat sini. Pernah sekali berpapasan kulihat ia, indah sekali matanya, hidungnya, bibirnya, parasnya. Namun sayang lagi, ia tak melihatku. bukan hanya sekali namun beberapa kali seperti itu. Oh Tuhan, kenapa aku berpikiran seperti itu. Mengapalah aku berharap. Mengenal sajapun tidak.

Sore telah berlalu dan esok hari datang lebih cepat. Ya, begitulah waktu. Terkadang ia terasa begitu lama kadang berlalu cepat. Dan aku masih dengan pertanyaan dalam diriku. Siapalah nama orang itu ? Jurusan apa ? Semoga saja jurusannya adalah ke hatiku.

Keesokan hari, aku berencana meminjam buku ke perpustakaan kampus. Sebelum nanti jam 1 masuk akan kuhabiskan beberapa jam untuk melahap beberapa diktat. Kala aku masuk ke perpustakaan, oh ternyata seseorang yang kutunggu itu sedang menulis buku pengunjung disana. Sambil berlalu menaruh tas, dan mengisi buku pengunjung kudapatlah nama seseorang tersebut "Sevia". Ia SEVIA, anak akutansi angkatan baru. Namun kenapa baru sekarang kulihat ia, sepertinya tak pernah kulihat ia selama masa ospek beberapa bulan kemarin. Entahlah, tiada penting lagi hal tersebut. Yang terpenting adalah sekarang ini, moment ini. Kemudian terpikir olehku bagaimana mengenalinya dari dirinya sendiri. Nanti akan kucoba.

Sembari mencari - cari diktat yang kuperlukan, kulihat ia sedang asik sendiri dengan bukunya di meja baca. Kemudian kususul duduk dekat berseberangan dengan mejanya. Ketika aku akan duduk, ia melihatku beberapa saat. Oh Tuhan, indahnya mata itu. Lalu ia melanjutkan bacaannya. Siang itu sungguh aku tak dapat berkonsentrasi dengan diktak-diktat tersebut. Aku ingin mencoba membangun pembicaraan dengannya, tapi bagaimana apa yang akan kutannyakan. Oh ide brilian datang, aku akan berpura - pura pinjam pulpen. Ketika kuakan berbicara kulihatnya menatapku dan berkata
"Abang yang sering didepan aula kampus tiap sore hari kan"
Ha, sedikit tidak percaya
"Ah, iya iya kok kamu bisa tahu ?" Kemudian ia tersenyum kecil seperti ingin menimpali "Aku sering lewat jalan depan aula kalo mau balik''
"Masa sih, tapi aku kok jarang nampak kamu"
"haha, kadang aku jalan kadang bawa motor Bang"
"Oh iya, kenalkan Alfi" sambil kuulurkan tangan ku padanya
"Sevia"
"bisa Pinjam pulpennya ?"
''silahkan bang" terjulurlah tangan halus nan bersih tersebut.

Dan semenjak itulah, pintu pintu berkarat  yang telah lama tertutup itu perlahan namun pasti terbuka untuk menyambut seseorang yang telah lama didambakan dan dinanti. Hati memang selalu butuh keyakinan akan dirinya sendiri, ia akan selalu egois jikalau tidak ada hukum Tuhan yang melarang.

Sunday, April 26, 2015

Lelakipun Perlu Menangis


Pernahkah kamu berpikir akan apa yang kamu harap kadang seperti terlalu besar untuk dicapai olehmu?
Mengapa kamu seperti itu?
Kulihat kau ragu dalam langkahmu,
Kulihat kesedihan nampak dimatamu,
Kenapa kamu mengekang harapanmu?
Meskipun dirimu tak yakin akan kemampuanmu,
Namun aku selalu melihat cahaya yang tak engkau sadari dari dirimu itu,
Berhentilah seperti itu,
Kenali dirimu,
Katakanlah keluh kesahmu padaku,
Aku akan senantiasa berada didekatmu,
Yang kubutuhkan hanyalah bukalah dirimu padaku,
Tak perlu malu tak perlu ragu,
Lelakipun juga berhak untuk berkeluh kesah kawan.

Saturday, April 25, 2015

Oh Kampungku


Sudah terbilang lama bagiku tidak menilik kampung halamanku. Bakalan, desa kecil di tepian sungai bengawan solo di Bojonegoro, Jawa timur. Desa damai dengan hamparan sawah nan luas. Desa dimana beras dihasilkan dan pertanian menjadi tumpuan serta harapan bagi kehidupan penduduknya. Di sini mayoritas penduduknya petani. Dan kebanyakan sudah berusia tidak muda karena para pemudanya lebih tertarik untuk bekerja di kota.

Dikala pagi datang, para petani di kampungku sudah bergegas beranjak ke sawah untuk mengurusi tanaman padinya. Banyak diantaranya berangkat ketika hari masih gelap, berduyun - duyun. Apalagi saat musim ini, banyak yang bekerja harian untuk mencabut tanaman gulma. Mereka bekerja dari pagi sehabis subuh sampai siang menjelang dzuhur. Mereka dibayar harian dan kebanyakan adalah ibu - ibu.

Pagi itu sekitar jam 6, aku sedang lari - lari menyusuri jalan kecil persawahan dekat rumahku. suasana masih berkabut dan cahaya mentari belum begitu nampak. Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil
“ Mas Agus kapan datang ?” sapa seseorang.

Kemudian kulihat kearah suara itu berasal, ternyata itu suara Pak Listyono (Kepala desa). kemudian kujawab

“ Eh Pak Lurah, semalam pak sampai rumah, lagi apa Pak ?” tanyaku.

“ Ini, sedang mengantar sarapan buat ibu-ibu yang kerja ”. jawab beliau sambil mencabuti rumput di sawah miliknya bersama ibu - ibu yang kerja.

Diantara ibu - ibu itu kulihat Lek Fatonah tetangga dekat Ku. Beberapa saat kemudian Pak lurah mengajak ibu-ibu itu untuk sarapan. Mereka duduk di pematang sawah. Pak lurah tak ikut sarapan namun berbincang denganku di dekat ibu - ibu itu. Sekedar berbincang ringan, Ini itu.
“ Pak lurah ini hebat, meskipun jadi seorang lurah dan pengusaha, masih sempat - sempatnya ngurus sawah juga” tanyaku
(selain kepala desa beliau juga memiliki usaha percetakan dan sewa menyewa peralatan event). Ia tersenyum, kemudian menjawab
“ya beginilah mas, lha memang aslinya petani dan hidup juga dari pertanian”. 

Begitulah Ia, sederhana tidak menampakkan kehebatannya maupun Jaim akan jabatannya. Semangat pengabdiannya tak perlu diragukan, berbagai program penyaluran dana dari pemerintah digunakannya untuk memperbaiki berbagai prasarana desa. Ia sudah dua periode memimpin kampung dan ini adalah tahun ke enamnya.

Sesaat kemudian lek Fatonah bergabung untuk sekedar bertukar kabar sebelum kembali lagi bekerja. Sungguh wanita hebat meskipun dalam kesulitan, ia masih begitu semangatnya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Rasa syukur kentara di wajahnya. setelah cukup lama berbincang akupun berpamitan dan beranjak pergi untuk melanjutkan lari pagi.

Begitulah kehidupan kampung ini. Kampung yang menyuguhkan semangat kerja keras, kesederhanaan serta rasa syukur bagi penghuninya. Mungkin sudah terlalu sering terdengar akan kebobrokan para petinggi negeri ini korupsi,kolusi,penyelewengan dan lainnya yang kian menyesakkan hati. Seakan tiada harapan lagi. Namun hal - hal sederhana tadi seolah - olah memberikan harapan. Bahwa sebenarnya di negeri ini masih banyak orang baik, pemimpin baik yang sungguh - sungguh ingin membaikkan negeri ini. Dan semoga lilin - lilin harapan seperti ini semakin banyak dan mampu mengurai gelapnya negeri ini.

Friday, April 24, 2015

Pudar
















Pernahkan terpikirkan,
ketika langkah demi langkah menghilang,
ketika perlahan semua kembali pulang,
akankah ini akan menjadi sama,
tanpanya ?

seakan benar tiada ada kewarasan,
terus jalan,
tapi sering tanpa haluan,
dan seolah bimbang,
ataukah lengah yang sepertinya sulit dibedakan,

kadang terlihat begitu bingungnya,
tapi begitulah sepertinya,
ketika susah untuk dikata,
biarlah suara suara pikiran memandunya.

Thursday, April 23, 2015

Memahami Tanpa Mencampuri (Begitulah Sahabat)

Adalah Radit di pojok depan kelas itu, terlihat dia sedang memainkan Gadget di tangannya. Sendirian disana, entah apa yang sedang dipikirkan, karena gadget itu sepertinya hanyalah menjadi kamuflase untuk menghilangkan keresahan yang nampak di wajahnya. Sekian lama disana datanglah Dessy menghampirinya.
"Hai Dit, Masih ada kelas kamu jam segini ?" tanyanya.
"Eh kamu Des, ah ndak. Ini cuma lagi wifian aja" jawab Radit seadanya.
"Oh, kamu tumben sendirian, biasanya kalo ada kamu pasti ada si Dayak itu, dimana dia ?"
"Dia lagi sibuk nyiapin acara buat besok"
"Acara apa emang ? kok ndak ada kabar-kabar gitu"
"acara himpunan, besok mau ada kunjungan anak kampus dari Jakarta ke sini"
"Oh yaya"
Radit masih sibuk dengan gadgetnya, sedangkan Dessi sepertinya telah membaca kegelisahan di raut muka Radit meskipun ia tak mengatakannya.
Kelengangan membuat Dessi merasa canggung. Semenjak tadi Radit sepertinya tidak tertarik untuk berbicara dengannya. Apalagi mau dikata ia memutuskan untuk pergi. kemudian iapun bangkit dan pergi dengan sedikit basa - basi dari mulutnya. Entah kemana, sepertinya ke Kantin kampus di seberang gedung perpustakaan.

Sore itu masih begitu terang dan suasana kampus masih syahdunya, terhembus angin sore dengan cahaya yang mulai nampak kekuning jinggaan. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, dan Radit masih setia duduk di bangku kayu tersebut. Berarti sudah 2 jam Radit tak kemana selain disana dengan gadgetnya. Entahlah apa sebenarnya yang ia pikirkan, begitu betahnya ia disana setia pada bangku tersebut. Duduk termenung seperti memikirkan sesuatu yang teramat berat. Tapi entahlah hanya dirinyalah yang tahu.

Dari gedung auditorium diseberang sana, nampak Tody sedang hilir mudik membawa berbagai perlengkapan dekorasi untuk acara penyambutan bosok di kampus ini. Ia sejak tadi siang sudah ijin untuk tidak ikut kelas siangnya. Ia diburu deadline, karena memang acaranya begitu mendadak. Pikirnya tak apalah sesekali ndak masuk kelas itu, toh semester ini ia ndak pernah absen hadir. Setelah kerjaan terakhirnya selesai terangkut ke dalam auditorium itu. Ia duduk sejenak di teras dekat auditorium tersebut untuk istirahat.
"Dy, bantu lah aku." suara seorang dari dalam auditorium.
"Aah kau ini ...., aku dah capek itu kan bagianmu toh, masa cuma masang spanduk gitu aja ndak bisa"
"wuuuuu''
Tody tak peduli, karena memang itu bukan bagiannya. Ia memandangi sekitarnya sambil menikmati suasana menjelang mentari tenggelam tersebut. Ketika pandangannya terarah ke gedung fisipol yang tak begitu jauh dari auditorium ia melihat seaeorang yang pikirnya itu seperti sahabatnya, Radit. Dan memang benar itu adalah Radit. Tody sedikit keheranan. Mengapa juga jam segini ia belum balik.

Tody adalah sahabat dekat Radit, mereka ibarat dua sekawan yang tak terpisahkan. Masa lalulah yang mendekatkan mereka, saat makrab. Tody sudah paham betul akan tabiat Radit begitupun sebaliknya. Dimata Tody, Radit adalah sahabat yang baik, peduli dan setia terhadap sahabatnya. Bahkan ia sudah dianganggapnya sebagai saudara sendiri. Mereka sering bertukar pikiran dan dari sanalah Tody mengenal Radit lebih dalam serta hal-hal yang mungkin dulu sebelum mengenalnya demikian aneh dianggapnya. Namun sekarang Tody sudah memahami mengapa dan apa hal yang membuat Radit terlihat begitu pendiam dan seperti anti sosial. Padahal tidaklah demikian menurut Tody, Radit adalah orang yang benar-benar berbeda dari yang banyak orang pikirkan pikirkan.

Kemudian Tody memanggil Radit sambil melambaikan tangannya  tinggi-tinggi. Radit mendongakkan mengikuti arah suara ini berasal. Tersenyumlah Tody lebar. Itu adalah sapaan dan panggilannya kepada Radit. Namun Radit tak beranjak dari duduknya. Ditunggu-tunggu beberapa saat Radit tidak kunjung mendekat, maka Tody tanpa berpikir banyak langsung menghampiri Radit sambil berlari - lari. Sepertinya ia sudah memahami apa yang harus ia lakukan ketika Radit bersikap seperti itu. Ada sesuatu yang kurang beres dengan sahabatnya itu.
"Eh, kau ngapain bengong sore-sore gini Dit. Udah sore ni, balik yuk" basa-basi Tody.
"okey..." singkat
"Aku ambil tasku sebentar ya, tunggu saja di parkiran"
"ia, jangan lama"
"siap bos" jawab tody, berusaha sekocak mungkin. Kemudian ia lari, kembali ke auditorium. Benar dugaannya, bahwa ada sesuatu keresahan diwajah sahabatnya.

Tak lama berselang, mereka berdua kemudian pulang menuju kost mereka. sore hampir menjelang magrib, Cahaya keemasan dari ufuk barat berkilauan menerpa mereka.
"Dit keren banget itu sunsetnya. Kau ndak bawa kamera kah ?"
''ndak e Dy"
"wah sayang "
"heem" singkat.
"kau aneh sekali hari ini ? Ada apa kau ?"
"Ndak apa"
"Masih mikirin cewek itu ? yahhhh... lupain deh"
"Asal ngomong kau"
"hahaha... Dit Dit"
Sorepun berlanjut membenam sang mentari, dalam kesenyapan sore diatas motor. Mata Radit tiada hentinya secara diam - diam melirik cahaya keemasan sore itu. Mata itu telah berbicara, dengan senyum kecil menyungging ke cakrawala. Namun raut sendu itu masih bersemayam dimuka tersebut. Namun Tody tiada mengetahui hal itu. Ia sedang sibuk menerka -nerka apa yang dipikirkan oleh Radit. Entahlah ...
Sesampai dikos Tody bilang ke Radit, jikalau nanti malam ia akan berkunjung ke Kostnya.

Benar, Pukul 8 malam Tody datang ke kost Radit. Radit sedang santai kala itu, namun entah mengapa wajah sisa tadi sore belum jua hilang. Tody mencoba membuka pembicaraan dan mulai bicara sana sini mencoba menghiburnya. Ia ingin pelan-pelan agar sahabatnya mau membagi cerita jikalau ada hal yang mungkin mengganjal dihati. Namun Radit seperti semula seolah seperti tak ada yang perlu diceritakan. Karena tiada membuahkan hasil dan karena sedikit capek Tody pun tiduran di tempat tidur Radit. Ia berpikir bahwa sahabatnya itu lagi ingin sendiri saja.

Tody mau balik pulang, namun Radit sejenak entah mengapa bilang kalo dia mau nyari Roti bakar terlebih dahulu dan meminta Tody untuk tetap di kostnya. Di kamar itu ia sedikit bosan karena sendirian, dilihatnya handphone sahabatnya itu ada di samping bantal. Ia iseng mau nyari game, ketika dilihat-lihat aplikasi ternyata ada sebuah catatan yang muncul di active app bar yang entah apa isinya. Dasarnya suka iseng, dibukalah catatan di HP tersebut, kemudian dibacanya :

"Ya Tuhan,
Kesepian telah merenggut waktuku di masa lalu,
Kini Kau kirimkan sahabat bagiku,
Tody,
Sahabat yang entah bagaimana bisa menerimaku atas banyak kekuranganku ini,
Dia cahaya dalam gelapku,
Dia penunjuk arah ketika aku ragu,
Dia penyemangat kalaku jatuh,
Tuhan,
Saat ini mungkin belum engkau perkenankanku berjumpa dengan calon pendamping sejatiku,
Dan telah berlalu beberapa gadis dibelakangku,
Namun untuk saat ini sahabat telah cukup mengusir kesepian itu,
Maka,Eratkanlah persahabatan kami.

Tanpa sadar setetes air mata keluar dari matanya. Menggenang kecil di sudut matanya. Tulisan itu begitu menyentuh dirinya masuk kedalam hati. Ia tak menyangka bahwa dirinya masih begitu berarti bagi hidup orang lain dan orang lain membutuhkannya, karena tanpa seorangpun tahu bahwa segala keceriaan yang ia sering tampilkan itu tidak lain juga adalah cara ia mencari akan arti hidupnya, ia ingin diakui.

Beberapa saat kemudian Radit datang, ia membawa sekotak roti bakar mixing. Dan tentu saja disambut sumringah oleh Tody yang berusaha tampil ceria. Karena itu adalah roti bakar kesukaannya.
"Wah selai Mixing Datang, buat aku saja ya Dit semua,"
"Enak aja kau beli sendiri sana" ketus

Kemudian makanlah mereka berdua atas roti bakar itu. Senda gurau meliputi mereka berdua. Radit mulanya sewot namun perlahan terbawa pula oleh gurauan Tody. Tody merasa sudah memukan jawaban atas pertannyaan tadi sore. Ia lega, ia senang bahwa sahabatnya tidak kenapa - kenapa, sahabatnya hanya menginginkan kehadirannya disampingnya.

Sebelum balik ke kost ia berkata kepada Radit" terima kasih kawan "
Radit diam saja, hanya termangu mendengar ucapan sahabatnya itu. Sedangkan Tody melangkah keluar. Pulang ? Mencari arti lain kehidupan ?