Thursday, April 30, 2015
A Perfect Lie
Kata memang ampuh,
Bisa kaubelok bisa kau bumbu,
Kadang elok kadang seperti racun,
Namun satu hal,
Raga itu selalu jujur,
Tak urus semua yang terucap,
Kau pernah bertanya,
Mengapa mataku ini selalu jujur,
Sungguh ta sanggup,
Tak sanggup kataku yakinkanmu,
Aku heran, Segalanya jujur,
Terkecuali lidah dan persangkaan, Namun kenapa bisa lidah menguasai kita ?,
Dan sepertinya kita membiarkannya,
Kamulah penentunya.
Wednesday, April 29, 2015
Aku Insaf Mencintaimu
Bila
diingatnya akan masa lalunya, akan buah – buah cerita karangan yang selalu diilhaminya.
Apakah benar seperti inikah kenyataan yang harus benar benar diterimanya.
Kenyataan yang berbilang terbalik dari semua angan yang ia telah gantungkan
kepadanya. Semua rangkaian kisah yang telah ia susun dalam benaknya akan kisah
hidupnya yang dicarinya, kini hanyalah puing – puing kebahagiaan semu. Sekarang
telah jelas bagaimana kelanjutan akan hubungannya. Hubungannya dengan seseorang
yang dikiranya kelak akan menjadi iman dalam hidupnya.
Sekarang
apalah yang akan diharapkan karena semua telah jelas. Ketika cinta suci
kesetiaan menjadi hal yang tak lagi bisa masuk akal. Namun sungguh apa dikata, entahlah mengapa dalam hatinya ia belum bisa menerima semua apa yang talah
nyata akan perbuatan tunanganya itu. ia terheran – heran dengan dirinya sendiri
bagaimana ia bisa begitu cintanya dengan orang yang tak telah melukai hatinya
bertubi - tubi. Sekali dua kali mungkin wajar saja. Namun
untuk kesekian kalinya dan ia masih mencintainya, apalah itu namanya. Apakah
benar demikian itu yang dinamai cinta. Begitu bodoh dan butanya diri dibuat
oleh itu perasaan. Alangkah buruknya apa yang bersembunyi dibalik perasaan jika
demikian adanya. Ini pulalah yang sekarang dirasai oleh Dinda, yang sedang
bermenung – menung dalam kamarnya. Mengingat semua apa yang telah dilakukan
oleh tunangannya itu padanya kemarin malam serta kesakitan di untaian hari –
hari silam.
Kemarin
malam, saat ia berkehendak untuk membeli sepasang baju untuk oleh – oleh untuk
kedua adiknya di sebuah kompleks pusat perbelanjaan & hotel di pusat kota
jogja yang termahsyur itu. ketika telah sampai di dekat gerbang masuknya,
terlihatlah sebuah mobil sedan putih. Mobil yang sangat tidak asing baginya,
mobil dari seseorang yang menjadi impiannya serta ibadahnya selama ini, Hasan.
Entahlah apa yang terlintas dipikirannya, terasa sedikit kejanggalan pikirnya.
Tadi siang ketika hendak menyampaikan ajakannya pada Hasan untuk menemaninya.
Hasan berbilang bahwa akan ada pertemuan pekerjaan penting dengan seseorang
dari Surabaya hingga nanti malam. Ia berbilang bahwa jam 10.00 ia baru akan
mengunjungi Dinda jikalau tak ada alang rintang menghadang. Sekarang baru
setengah tujuh malam dan pertemuan seharusnya masih berjalan.
Dinda
berdiri tegak didepan gerbang plaza tersebut, matanya mengiringi gerak laju
mobil itu berhenti. Dilihatnya agak begitu samar dalam kejauhan, ternyata
benarlah apa yang ia duga. Itu Hasan, namun mengapa ada seorang perempuan juga
turun dari mobilnya. Apakah itu orang yang dari surabaya yang dimaksudnya.
Bukankah kalau tak salah ingat Dinda, hasan mengatakan kalau klien tersebut
bernama Pak .... ah lupalah ingatan Dinda. Namun apa yang dilihanya kini ini
apakah Pak ....dalam benak terngiang beribu suara lidah berbisik mengajak
berprasangka buruk. Gejolak hati tak terbendung lagi, rasa sakit yang selama ini
berusaha ditutuppinya terkoyak lagi sebegitu besarnya membekas di hatinya. Seperti
tidak terima, hatinya mengajak dirinya untuk bergegas ke hotel yang tidak jauh
dari tempat berdirinya sekarang ini. Meminta penjelasan, pengakuan serta
kebenaran akan semua ini. Ia sungguh berharap bahwa apa yang dilihatnya
tiadalah benar-benar nyata. Karena entah mengapa ada sudut kecil dihatinya yang
masih akan terus berharap akan cinta dari Hasan yang sudah benar – benar jelas akan
belang dalam dirinya.
Ia
berjalan lemah menuju hotel itu,tak terasa air mata Dinda menetes, gemuruh
perasaan dihatinya bergelut begitu hebatnya dalam hatinya. Berperanglah antara
pengharapan dan kenyataan dalam dirinya. Langkah – langkahnya seperti tak tentu
arah, biarlah kaki saja yang menentukan tak perdulilah ia. Kini di pelataran
depan hotel tersebut. Ia hanya menerawang seperti tak percaya, dilihatnya
tunangannya tersebut bergandengan tangan begitu mesranya dalam lobby sana. Ia terpaku
diam di pelataran tersebut berkhidmad mencoba memahami semuanya. Dinikmatinya kesakitan
itu, ditelannya sesuka hati, biarlah puas derita diri ini menanggung butanya
mata hatinya. Hilir mudik orang turun dari mobil mereka menuju hotel tak adapun
dipedulikannya, bahkan sapaan santun dari karyawan hotelpun tak ditanggapinya. Hanya
senyuman getir dibalaskan pada karyawan tersebut.
Setelah
sekian lama masuklah ia kedalam hotel tersebut, ditanyainya receptionis hotel
tersebut mengenai seseorang yang bernama Hasan adakah benar menyewa kamar di
hotel tersebut. Dibenarkanlah keterangan tersebut, Dinda mencoba menanyakan di
kamar mana Hasan berada, namun apalah guna karena barang tentu hotel bintang
lima seperti ini tak akan pernah memberitahukan informasi pribadi akan para
tamu-tamunya. Dindapun mengetahui hal ini, pikirnya barangkali sang resceptionis
tersebut berbelas kasih atau sekali akan khilaf memberitahunya. Iapun menuju
sebuah sofa di sudut lobby yang tak terlihat dari arah dalam. Berduduklah ia
disana sambil memutar balik segala ingatannya akan kisah dirinya bersama Hasan,
satu demi satu dicoba di bukakan bebal benang dalamnya. Dalam kesendirian
tersebut terkadang ia tersenyum getir, tertawa tiada jelas, dan terkadang muram
serta sesal saja tegambar di raut mukanya kala itu.
Jam sudah
menunjukkan pukul 9.15 malam, Dinda telah sadar akan keadaannya. Kendalinya sudah
terjaga dan yang terpenting ia sudah memiliki keputusan dalam hatinya. Tak berapa
lama terlihatlah olehnya Hasan dengan wanita tersebut di Receptionis, gelegak
tawa ringan menghiasi diri mereka. Dinda benar – benar muak melihat semua itu
berdirilah ia. Kemudian dihampirinya Hasan yang tengah beranjak menuju pintu
keluar.
“Hasan”Panggil
dinda dari belakang.
Hasanpun berbalik mengikutu arah suara itu berasal. Terkejutlah
ia akan sesaat. Dan bingunglah wanita disampingnya, dan sepertinya menanyakan
sesuatu kepada Hasan dengan berbisik pelan.
“entahlah, saya tak tahu”
Tertusuk sedalam –
dalamnyalah hati Dinda mendengar kata – kata itu, tak sanggup lagi ia berkata –
kata, air mata telah bengalir deras dimatanya. Diambilnyalah cincin pertunanagan
di jarinya. Dan dilemparkanlah cincin itu kepada Hasan, dan berlarilah ia
keluar dari hotel itu. mencari taxi untuk mengantarnya pulang ke Kostnya. Hasan
sembari tadi hanya tercengang saja, seperti tak memahami apa yang telah
terjadi. Bodohnya pria tersebut, yang menganggap perasaan sebagai permainan
belaka. Dan membiarkan berlian jatuh kedalam derasnya arus sungai. Semalaman itu
menangislah dinda dalam kamarnya, dering telpon maupun pesan dari Hasan tak tihiraukannya
lagi. Baginya cukup, cukup sudah semua kesakitan dari pria bernama Hasan itu.
ia benar – benar insaf. Dan tak ingin lagi memberikan kesempatan perasaan cinta
tersebut berkembang lagi. Meskipun tak tipungkiri pula bahwa ada sudut kecil
dihatinya yang telah terpatri akan diri hasan yang tak akan pernah ia bisa
hapuskan.
Pagi tadi sempat dibukannya berbagai pesan dari hasan di Media sosial maupun di pesan instan. Permohonan maaf, itulah semua yang tertulis, ia sangat menyesal. Dinda telah bulat, pertunangan ini tak bisa dilanjutkan lagi. Kardus telah siap, dan akan diantarkanlah Kardus itu tadi
ke Kontrakan Hasan di Jogja. Biarlah semua kenangan maupun harapan yang tersimpan
dalam kardus tersebut dibalikkan kepada pemberinya. Seseorang yang belum
memahami akan kesetiaan dan pengorbanan cinta dari seseorang. Biarlah Tuhan yang akan mengajari dan menyadarkan akan kebebalannya itu.
Tuesday, April 28, 2015
Bunga Kemarau
Hanya air,
Maka bunga akan tersenyum indah kepada dunia,
Begitupun sebuah jiwa,
Butuh air seperti bunga,
Ia selalu menanti datangnya hujan,
Berkah Tuhan yang selalu dirindukan.
Sekian lama ia menunggu,
Dalam balutan kemarau panjang ini,
Tiada sangka tiada duga,
Muncullah keajaiban yang menghanyutkan hati,
Tiba-tiba ada air deras mengucur diatasnya.
Lantas terbukalah mata itu,
Cahaya kecil merambat perlahan di sorotnya,
Terlihat sudah siapa gerangan malaikat itu ,
Tertegun terdiam,
Biarlah mata dan raut muka itu saja yang menjelaskan
akan pengharapan dihatinya.
Monday, April 27, 2015
Sunset Mengantarmu Padaku
Sudah lumayan lama kuberdiri di depan Aula kampus ini, menunggu. Siapakah
yang kutunggu ? hanya hati yang tahu. Aku tiada menunggu seseorang, suasanalah yang
kutunggu. Namun apakah benar - benar demikian adanya, apa itu hanya kebohongan pikiran saja. Sore hari di depan Aula kampus memanglah selalu menawan akan pemandangan senja harinya. Dan memang semester kali ini aku ambil
jadwal kuliah siang hingga sore.
Biasa kala sore habis
kuliah kuhabiskan setengah jam disini memandangi lukisan Tuhan yang
tiada tara indahnya. Cahaya sore memang seperti obat, yang mampu
menyembuhkan luka jiwa yang kasat terlihat.
Dan entahlah
mengapa setelah sekian lama menyendiri menutup hati, beberapa minggu ini
kulihat seseorang yang terlihat berbeda keindahannya dari orang -orang
lainnya. Hanya keindahanlah yang nampak dalam auranya. Namunlah sayang
aku tak tahu siapalah dia, yang kutahu kadang sesekali dalam beberapa
hari kulihat ia lewat di dekat sini. Pernah sekali berpapasan kulihat
ia, indah sekali matanya, hidungnya, bibirnya, parasnya. Namun sayang
lagi, ia tak melihatku. bukan hanya sekali namun beberapa kali seperti
itu. Oh Tuhan, kenapa aku berpikiran seperti itu. Mengapalah aku
berharap. Mengenal sajapun tidak.
Sore telah berlalu dan
esok hari datang lebih cepat. Ya, begitulah waktu. Terkadang ia terasa
begitu lama kadang berlalu cepat. Dan aku masih dengan pertanyaan dalam
diriku. Siapalah nama orang itu ? Jurusan apa ? Semoga saja jurusannya
adalah ke hatiku.
Keesokan hari, aku berencana meminjam
buku ke perpustakaan kampus. Sebelum nanti jam 1 masuk akan kuhabiskan
beberapa jam untuk melahap beberapa diktat. Kala aku masuk ke
perpustakaan, oh ternyata seseorang yang kutunggu itu sedang menulis
buku pengunjung disana. Sambil berlalu menaruh tas, dan mengisi buku
pengunjung kudapatlah nama seseorang tersebut "Sevia". Ia SEVIA, anak
akutansi angkatan baru. Namun kenapa baru sekarang kulihat ia,
sepertinya tak pernah kulihat ia selama masa ospek beberapa bulan
kemarin. Entahlah, tiada penting lagi hal tersebut. Yang terpenting
adalah sekarang ini, moment ini. Kemudian terpikir olehku bagaimana
mengenalinya dari dirinya sendiri. Nanti akan kucoba.
Sembari
mencari - cari diktat yang kuperlukan, kulihat ia sedang asik sendiri
dengan bukunya di meja baca. Kemudian kususul duduk dekat berseberangan
dengan mejanya. Ketika aku akan duduk, ia melihatku beberapa saat. Oh
Tuhan, indahnya mata itu. Lalu ia melanjutkan bacaannya. Siang itu
sungguh aku tak dapat berkonsentrasi dengan diktak-diktat tersebut. Aku
ingin mencoba membangun pembicaraan dengannya, tapi bagaimana apa yang
akan kutannyakan. Oh ide brilian datang, aku akan berpura - pura pinjam
pulpen. Ketika kuakan berbicara kulihatnya menatapku dan berkata
"Abang yang sering didepan aula kampus tiap sore hari kan"
Ha, sedikit tidak percaya
"Ah,
iya iya kok kamu bisa tahu ?" Kemudian ia tersenyum kecil seperti ingin
menimpali "Aku sering lewat jalan depan aula kalo mau balik''
"Masa sih, tapi aku kok jarang nampak kamu"
"haha, kadang aku jalan kadang bawa motor Bang"
"Oh iya, kenalkan Alfi" sambil kuulurkan tangan ku padanya
"Sevia"
"bisa Pinjam pulpennya ?"
''silahkan bang" terjulurlah tangan halus nan bersih tersebut.
Dan
semenjak itulah, pintu pintu berkarat yang telah lama tertutup itu perlahan
namun pasti terbuka untuk menyambut seseorang yang telah lama didambakan
dan dinanti. Hati memang selalu butuh keyakinan akan dirinya sendiri, ia akan selalu egois jikalau tidak ada hukum Tuhan yang melarang.
Sunday, April 26, 2015
Lelakipun Perlu Menangis
Pernahkah kamu berpikir akan apa yang kamu harap kadang seperti terlalu besar untuk dicapai olehmu?
Mengapa kamu seperti itu?
Kulihat kau ragu dalam langkahmu,
Kulihat kesedihan nampak dimatamu,
Kenapa kamu mengekang harapanmu?
Meskipun dirimu tak yakin akan kemampuanmu,
Namun aku selalu melihat cahaya yang tak engkau sadari dari dirimu itu,
Berhentilah seperti itu,
Kenali dirimu,
Katakanlah keluh kesahmu padaku,
Aku akan senantiasa berada didekatmu,
Yang kubutuhkan hanyalah bukalah dirimu padaku,
Tak perlu malu tak perlu ragu,
Lelakipun juga berhak untuk berkeluh kesah kawan.
Saturday, April 25, 2015
Oh Kampungku
Sudah terbilang lama bagiku tidak menilik
kampung halamanku. Bakalan, desa kecil di tepian sungai bengawan solo di
Bojonegoro, Jawa timur. Desa damai dengan hamparan sawah nan luas. Desa
dimana beras dihasilkan dan pertanian menjadi tumpuan serta harapan
bagi kehidupan penduduknya. Di sini mayoritas penduduknya petani. Dan
kebanyakan sudah berusia tidak muda karena para pemudanya lebih tertarik
untuk bekerja di kota.
Dikala pagi datang, para petani di kampungku sudah bergegas beranjak
ke sawah untuk mengurusi tanaman padinya. Banyak diantaranya berangkat
ketika hari masih gelap, berduyun - duyun. Apalagi saat musim ini,
banyak yang bekerja harian untuk mencabut tanaman gulma. Mereka bekerja
dari pagi sehabis subuh sampai siang menjelang dzuhur. Mereka dibayar
harian dan kebanyakan adalah ibu - ibu.
Pagi itu sekitar jam 6, aku sedang lari - lari menyusuri jalan kecil
persawahan dekat rumahku. suasana masih berkabut dan cahaya mentari
belum begitu nampak. Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil
“ Mas Agus kapan datang ?” sapa seseorang.
Kemudian kulihat kearah suara itu berasal, ternyata itu suara Pak Listyono (Kepala desa). kemudian kujawab
“ Eh Pak Lurah, semalam pak sampai rumah, lagi apa Pak ?” tanyaku.
“ Ini, sedang mengantar sarapan buat ibu-ibu yang kerja ”.
jawab beliau sambil mencabuti rumput di sawah miliknya bersama ibu - ibu
yang kerja.
Diantara ibu - ibu itu kulihat Lek Fatonah tetangga dekat
Ku. Beberapa saat kemudian Pak lurah mengajak ibu-ibu itu untuk sarapan.
Mereka duduk di pematang sawah. Pak lurah tak ikut sarapan namun
berbincang denganku di dekat ibu - ibu itu. Sekedar berbincang ringan,
Ini itu.
“ Pak lurah ini hebat, meskipun jadi seorang lurah dan pengusaha, masih sempat - sempatnya ngurus sawah juga” tanyaku
(selain kepala desa beliau juga memiliki usaha percetakan dan sewa menyewa peralatan event). Ia tersenyum, kemudian menjawab
“ya beginilah mas, lha memang aslinya petani dan hidup juga dari pertanian”.
Begitulah
Ia, sederhana tidak menampakkan kehebatannya maupun Jaim akan
jabatannya. Semangat pengabdiannya tak perlu diragukan, berbagai program
penyaluran dana dari pemerintah digunakannya untuk memperbaiki berbagai
prasarana desa. Ia sudah dua periode memimpin kampung dan ini adalah
tahun ke enamnya.
Sesaat kemudian lek Fatonah bergabung untuk sekedar bertukar kabar
sebelum kembali lagi bekerja. Sungguh wanita hebat meskipun dalam
kesulitan, ia masih begitu semangatnya untuk mencari nafkah bagi
keluarganya. Rasa syukur kentara di wajahnya. setelah cukup lama
berbincang akupun berpamitan dan beranjak pergi untuk melanjutkan lari
pagi.
Begitulah kehidupan kampung ini. Kampung yang menyuguhkan semangat
kerja keras, kesederhanaan serta rasa syukur bagi penghuninya. Mungkin
sudah terlalu sering terdengar akan kebobrokan para petinggi negeri ini
korupsi,kolusi,penyelewengan dan lainnya yang kian menyesakkan hati.
Seakan tiada harapan lagi. Namun hal - hal sederhana tadi seolah - olah
memberikan harapan. Bahwa sebenarnya di negeri ini masih banyak orang
baik, pemimpin baik yang sungguh - sungguh ingin membaikkan negeri ini.
Dan semoga lilin - lilin harapan seperti ini semakin banyak dan mampu
mengurai gelapnya negeri ini.
Friday, April 24, 2015
Pudar
Pernahkan terpikirkan,
ketika langkah demi langkah menghilang,
ketika perlahan semua kembali pulang,
akankah ini akan menjadi sama,
tanpanya ?
seakan benar tiada ada kewarasan,
terus jalan,
tapi sering tanpa haluan,
dan seolah bimbang,
ataukah lengah yang sepertinya sulit dibedakan,
kadang terlihat begitu bingungnya,
tapi begitulah sepertinya,
ketika susah untuk dikata,
biarlah suara suara pikiran memandunya.
ketika langkah demi langkah menghilang,
ketika perlahan semua kembali pulang,
akankah ini akan menjadi sama,
tanpanya ?
seakan benar tiada ada kewarasan,
terus jalan,
tapi sering tanpa haluan,
dan seolah bimbang,
ataukah lengah yang sepertinya sulit dibedakan,
kadang terlihat begitu bingungnya,
tapi begitulah sepertinya,
ketika susah untuk dikata,
biarlah suara suara pikiran memandunya.
Thursday, April 23, 2015
Memahami Tanpa Mencampuri (Begitulah Sahabat)
Adalah Radit di pojok depan kelas itu, terlihat dia sedang memainkan
Gadget di tangannya. Sendirian disana, entah apa yang sedang dipikirkan,
karena gadget itu sepertinya hanyalah menjadi kamuflase untuk
menghilangkan keresahan yang nampak di wajahnya. Sekian lama disana
datanglah Dessy menghampirinya.
"Hai Dit, Masih ada kelas kamu jam segini ?" tanyanya.
"Eh kamu Des, ah ndak. Ini cuma lagi wifian aja" jawab Radit seadanya.
"Oh, kamu tumben sendirian, biasanya kalo ada kamu pasti ada si Dayak itu, dimana dia ?"
"Dia lagi sibuk nyiapin acara buat besok"
"Acara apa emang ? kok ndak ada kabar-kabar gitu"
"acara himpunan, besok mau ada kunjungan anak kampus dari Jakarta ke sini"
"Oh yaya"
Radit
masih sibuk dengan gadgetnya, sedangkan Dessi sepertinya telah membaca
kegelisahan di raut muka Radit meskipun ia tak mengatakannya.
Kelengangan
membuat Dessi merasa canggung. Semenjak tadi Radit sepertinya tidak
tertarik untuk berbicara dengannya. Apalagi mau dikata ia memutuskan untuk pergi. kemudian iapun bangkit dan pergi dengan
sedikit basa - basi dari mulutnya. Entah kemana, sepertinya ke Kantin
kampus di seberang gedung perpustakaan.
Sore itu masih
begitu terang dan suasana kampus masih syahdunya, terhembus angin
sore dengan cahaya yang mulai nampak kekuning jinggaan. Jam sudah
menunjukkan pukul 5 sore, dan Radit masih setia duduk di bangku kayu
tersebut. Berarti sudah 2 jam Radit tak kemana selain disana dengan
gadgetnya. Entahlah apa sebenarnya yang ia pikirkan, begitu betahnya ia
disana setia pada bangku tersebut. Duduk termenung seperti memikirkan
sesuatu yang teramat berat. Tapi entahlah hanya dirinyalah yang tahu.
Dari gedung
auditorium diseberang sana, nampak Tody sedang hilir mudik membawa
berbagai perlengkapan dekorasi untuk acara penyambutan bosok di kampus
ini. Ia sejak tadi siang sudah ijin untuk tidak ikut kelas siangnya. Ia
diburu deadline, karena memang acaranya begitu mendadak.
Pikirnya tak apalah sesekali ndak masuk kelas itu, toh semester ini ia
ndak pernah absen hadir. Setelah kerjaan terakhirnya selesai
terangkut ke dalam auditorium itu. Ia duduk sejenak di teras dekat
auditorium tersebut untuk istirahat.
"Dy, bantu lah aku." suara seorang dari dalam auditorium.
"Aah kau ini ...., aku dah capek itu kan bagianmu toh, masa cuma masang spanduk gitu aja ndak bisa"
"wuuuuu''
Tody
tak peduli, karena memang itu bukan bagiannya. Ia memandangi sekitarnya
sambil menikmati suasana menjelang mentari tenggelam tersebut. Ketika pandangannya
terarah ke gedung fisipol yang tak begitu jauh dari auditorium ia melihat seaeorang yang pikirnya itu seperti
sahabatnya, Radit. Dan memang benar itu adalah Radit. Tody sedikit
keheranan. Mengapa juga jam segini ia belum balik.
Tody
adalah sahabat dekat Radit, mereka ibarat dua sekawan yang tak
terpisahkan. Masa lalulah yang mendekatkan mereka, saat makrab. Tody
sudah paham betul akan tabiat Radit begitupun sebaliknya. Dimata Tody,
Radit adalah sahabat yang baik, peduli dan setia terhadap sahabatnya.
Bahkan ia sudah dianganggapnya sebagai saudara sendiri. Mereka sering
bertukar pikiran dan dari sanalah Tody mengenal Radit lebih dalam serta
hal-hal yang mungkin dulu sebelum mengenalnya demikian aneh dianggapnya.
Namun sekarang Tody sudah memahami mengapa dan apa hal yang membuat
Radit terlihat begitu pendiam dan seperti anti sosial. Padahal tidaklah
demikian menurut Tody, Radit adalah orang yang benar-benar berbeda dari
yang banyak orang pikirkan pikirkan.
Kemudian Tody
memanggil Radit sambil melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Radit
mendongakkan mengikuti arah suara ini berasal. Tersenyumlah Tody lebar.
Itu adalah sapaan dan panggilannya kepada Radit. Namun Radit tak
beranjak dari duduknya. Ditunggu-tunggu beberapa saat Radit tidak
kunjung mendekat, maka Tody tanpa berpikir banyak langsung menghampiri
Radit sambil berlari - lari. Sepertinya ia sudah memahami
apa yang harus ia lakukan ketika Radit bersikap seperti itu. Ada sesuatu
yang kurang beres dengan sahabatnya itu.
"Eh, kau ngapain bengong sore-sore gini Dit. Udah sore ni, balik yuk" basa-basi Tody.
"okey..." singkat
"Aku ambil tasku sebentar ya, tunggu saja di parkiran"
"ia, jangan lama"
"siap
bos" jawab tody, berusaha sekocak mungkin. Kemudian ia lari, kembali ke
auditorium. Benar dugaannya, bahwa ada sesuatu keresahan diwajah
sahabatnya.
Tak lama berselang, mereka berdua kemudian
pulang menuju kost mereka. sore hampir menjelang magrib, Cahaya keemasan
dari ufuk barat berkilauan menerpa mereka.
"Dit keren banget itu sunsetnya. Kau ndak bawa kamera kah ?"
''ndak e Dy"
"wah sayang "
"heem" singkat.
"kau aneh sekali hari ini ? Ada apa kau ?"
"Ndak apa"
"Masih mikirin cewek itu ? yahhhh... lupain deh"
"Asal ngomong kau"
"hahaha... Dit Dit"
Sorepun
berlanjut membenam sang mentari, dalam kesenyapan sore diatas motor.
Mata Radit tiada hentinya secara diam - diam melirik cahaya keemasan
sore itu. Mata itu telah berbicara, dengan senyum kecil menyungging ke
cakrawala. Namun raut sendu itu masih bersemayam dimuka tersebut. Namun
Tody tiada mengetahui hal itu. Ia sedang sibuk menerka -nerka apa yang
dipikirkan oleh Radit. Entahlah ...
Sesampai dikos Tody bilang ke Radit, jikalau nanti malam ia akan berkunjung ke Kostnya.
Benar,
Pukul 8 malam Tody datang ke kost Radit. Radit sedang santai kala itu,
namun entah mengapa wajah sisa tadi sore belum jua hilang. Tody mencoba
membuka pembicaraan dan mulai bicara sana sini mencoba menghiburnya. Ia
ingin pelan-pelan agar sahabatnya mau membagi cerita jikalau ada hal
yang mungkin mengganjal dihati. Namun Radit seperti semula seolah
seperti tak ada yang perlu diceritakan. Karena tiada membuahkan hasil
dan karena sedikit capek Tody pun tiduran di tempat tidur Radit. Ia
berpikir bahwa sahabatnya itu lagi ingin sendiri saja.
Tody
mau balik pulang, namun Radit sejenak entah mengapa bilang kalo dia mau
nyari Roti bakar terlebih dahulu dan meminta Tody untuk tetap di
kostnya. Di kamar itu ia sedikit bosan karena sendirian, dilihatnya
handphone sahabatnya itu ada di samping bantal. Ia iseng mau nyari game,
ketika dilihat-lihat aplikasi ternyata ada sebuah catatan yang muncul di
active app bar yang entah apa isinya. Dasarnya suka iseng, dibukalah
catatan di HP tersebut, kemudian dibacanya :
"Ya Tuhan,
Kesepian telah merenggut waktuku di masa lalu,
Kini Kau kirimkan sahabat bagiku,
Tody,
Sahabat yang entah bagaimana bisa menerimaku atas banyak kekuranganku ini,
Dia cahaya dalam gelapku,
Dia penunjuk arah ketika aku ragu,
Dia penyemangat kalaku jatuh,
Tuhan,
Saat ini mungkin belum engkau perkenankanku berjumpa dengan calon pendamping sejatiku,
Dan telah berlalu beberapa gadis dibelakangku,
Namun untuk saat ini sahabat telah cukup mengusir kesepian itu,
Maka,Eratkanlah persahabatan kami.
Tanpa
sadar setetes air mata keluar dari matanya. Menggenang kecil di sudut
matanya. Tulisan itu begitu menyentuh dirinya masuk kedalam hati. Ia tak
menyangka bahwa dirinya masih begitu berarti bagi hidup orang lain dan
orang lain membutuhkannya, karena tanpa seorangpun tahu bahwa segala
keceriaan yang ia sering tampilkan itu tidak lain juga adalah cara ia
mencari akan arti hidupnya, ia ingin diakui.
Beberapa saat
kemudian Radit datang, ia membawa sekotak roti bakar mixing. Dan tentu
saja disambut sumringah oleh Tody yang berusaha tampil ceria. Karena itu
adalah roti bakar kesukaannya.
"Wah selai Mixing Datang, buat aku saja ya Dit semua,"
"Enak aja kau beli sendiri sana" ketus
Kemudian
makanlah mereka berdua atas roti bakar itu. Senda gurau meliputi mereka
berdua. Radit mulanya sewot namun perlahan terbawa pula oleh gurauan
Tody. Tody merasa sudah memukan jawaban atas pertannyaan tadi sore. Ia
lega, ia senang bahwa sahabatnya tidak kenapa - kenapa, sahabatnya hanya
menginginkan kehadirannya disampingnya.
Sebelum balik ke kost ia berkata kepada Radit" terima kasih kawan "
Radit
diam saja, hanya termangu mendengar ucapan sahabatnya itu. Sedangkan
Tody melangkah keluar. Pulang ? Mencari arti lain kehidupan ?
Subscribe to:
Posts (Atom)