Pada tahun 2021 awal aku diterima pada Instansi kebencanaan di Kabupaten Sidoarjo. Dan setelah cukup banyak bergelut dengan kebencanaan selama hampir lima tahun ini aku terngiang dengan ingatanku akan kampung halaman di Kabupaten Bojonegoro. Aku lahir di sebuah desa di sisi timur perbatasan Bojonegoro kota dengan Kabupaten Tuban.
Desaku berada di hamparan dataran rendah yang membentang sepanjang Sungai Bengawan Solo di sisi utara Kabupaten Bojonegoro. Wilayah ini sangatlah subur dan produktif, dengan hamparan sawah yang sangat luas menjadikannya sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Timur.
Dengan topografi dataran rendah, hamparan lahan terbuka yang luas serta iklim yang relatif panas, maka secara alami akan memunculkan potensi ancaman angin kencang di wilayah ini. Menariknya, bila melihat desa-desa di Bojonegoro ini terutama yang masih sekawasan dengan desaku di Kecamatan Kapas, ada hal menarik dalam kaitannya dengan mitigasi bencana. Yakni bagaimana desa-desa ini beradaptasi dengan potensi ancaman angin.
Pohon bambu di sepanjang jalan raya Bakalan-Kapas, Bojonegoro
Desa-desa ini tumbuh berkembang secara sporadis komunal yang umumnya berada di tengah area persawahan dan saling terhubung antar desa, dengan area di luar area-area pemukiman ditanamani pohon-pohon bambu dengan ketinggian sekitar 15 meter lebih mengitari wilayah pemukimannya. Pohon bambu tersebut ada yang tumbuh/ditanam di sepanjang perbatasan desa, sepanjang jalur saluran drainase desa atau di pekarangan belakang rumah penduduk.
Pohon bambu tersebut sering dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Mulai dari kayu bakar, material bangunan rumah, perabotan rumah bahkan untuk sayur mayur. Pohon bambu tersebut menjadi salah satu komponen penting dalam sosial kemasyarakatan disana, termasuk dalam hal ekonomi. Namun satu hal yang selama ini luput dari pandanganku adalah bahwa pohon bambu tersebut sebenarnya adalah salah satu infrastruktur alami yang mungkin sengaja ditanam sebagai pagar desa dan sebagai pelindung dari potensi ancaman angin.
Persebaran pohon bambu sebagai pelindung kawasan pemukiman (Ds.Bakalan dan Bogo Kec Kapas - Bojonegoro)
Aku teringat, dulu saat masih kecil hingga remaja, saat terjadi hujan lebat disertai angin kencang maka pohon-pohon bambu itulah yang secara tak langsung melindungi rumah maupun desaku dari hempasan angin kencang yang sering terjadi pada saat musim pancaroba maupun musim penghujan. Dengan karakteristiknya yang menjulang tinggi, berbatang kokoh namun dinamis (tidak mudah patah) serta memiliki dedaunan yang rimbun, menjadikan pohon ini berfungsi sangat baik sebagai buffer untuk meredakan kekuatan angin sehingga angin tidak langsung mengenai rumah penduduk.
Kakek buyut pendahulu yang mendirikan desa-desa tersebut mungkin tidak banyak mengenyam pendidikan formal seperti sekarang ini. Namun yang patut diteladani adalah bahwa mereka belajar untuk memahami alam dimana mereka tinggal dan beradaptasi dengan potensi ancaman yang ada di sekitarnya. Sejujurnya aku kagum bahwa pengetahuan akan mitigasi bencana seperti ini ternyata sudah dimiliki oleh orang-orang terdahulu.
Pohon bambu sebagai pembatas dengan lahan terbuka
Bukan hanya di Bojonegoro itu saja, di daerah dengan ancaman bencana lainpun ada pula pengetahuan lokal yang sebenarnya juga merupakan mitigasi bencana untuk wilayahnya. Seperti konsep rumah tradisional rumah panggung yang bisa ditemui di sepanjang pesisir barat sumatra sebagai adaptasi dengan potensi bencana gempa disana. Bahwa pengetahuan lokal yang tidak tertulis atau mungkin hanya diceritakan atau diwariskan dengan perbuatan ini layak untuk diperhatikan dan dijadikan tambahan pemahaman untuk mitigasi bencana dengan memanfaatkan pengetahuan lokal yang sudah dimiliki pendahulu kita.
No comments:
Post a Comment