Friday, August 14, 2015

Maafkan Ibumu Ini Nak

Hari telah larut, kumandang isya telah terlantun lama ketika di bagian kecil desa itu, disebuah rumah yang berhiaskan lampu – lampu neon yang temaram tenang itu di datangi satu demi satu tetangga maupun kerabat yang seolah tergesa – gesa ingin masuk kedalam rumah sederhana itu. apalah gerangan terjadi dirumah itu ? adakan sesuatu hal yang mengusik warga dari rumah itu ? ah, bukanlah demikian adanya.

Beberapa orang ibu – ibu yang tak lebih dari empat orang bergerombol di depan rumah itu, di dalam sepertinya sudah tak ada tempat lagi. Mereka terlihat serius sambil berbisik – bisik pelan dengan ekspresi yang sangat aneh, antara keheranan, penasaran, atau mungkin rupa-rupa perumpi tepatnya. Sekilas terdengar percakapan mereka.
“Makin parah sepertinya” kata seorang ibu - ibu
“Iya ya Bu, Mungkin sudah waktunya kali”sahut seorang ibu – ibu pendek disampingnya
“Aduh Bu, jangan ngomong yang tidak –tidak” ibu – ibu satunya

Ya begitulah sekilas, dan di beberapa tempat di dalam kasak – kusuk juga tak henti hentinya terdengar di sudut rumah itu. Ternyata sumber dari segala kasak kusuk yang jadi di dalam rumah itu adalah seorang nenek tua yang sedang terbaring lemah di kamarnya. Namanya Surati.Dikamar itu ia tidaklah sendiri, di sekelilingnya nampak banyak ibu – ibu yang mengelilingi tempat tidurnya. Ada yang berdiri dan ada yang duduk khidmat. Muka mereka semua seoalah berpadu untuk menampakkan keprihatinan melihat sosok nenek tua yang mungkin sedang berjuang dengan hidupnya. Berjuang dalam bilik kehidupan bersamping dengan pintu keabadian yang mendekat. Disamping nenek itu terlihat seorang dokter pria muda bersama seorang lelaki berusia 40han yang bersimpuh disamping nenek itu. itulah Pak Alim, anak bu surati. Muka lelaki itu berkalut duka, air matanya mengalir terus seiring dengan kalimat – kalimat doa yang ia lantunkan tak henti – hentinya.

Sang nenek hanya diam saja namun nafasnya terlihat berat dan tersengal – sengal. Dadanya naik turun seiring dengan usaha menarik udara masuk kedalam paru – parunya. Matanya masih terbuka memandang lurus keatas dinding kamar, ia masih sadar namun seluruh badan sungguh terasa berat dan tak mau digerakkan. Lunglai tak berdaya di atas dipan. Beberapa saat kemudian terlihat, ia dengan lirikan pelan matanya mencoba memandangi orang – orang yang berada di dalam kamar itu. satu per satu dipandanginya. Ia kenal mereka semua. mereka semua adalah para tetangga, cucu serta sanak keluarganya.

Dan tiba tiba entah apa yang terjadi pendengaranya seperti mendengar dengkingan panjang yang aneh dan tiba – tiba ia tidak bisa mendengarkan apapun dan seperti tertarik kebelakang oleh waktu, ingatanya kembali 25 tahun yang lalu. Dilihatnya dirinya yang sedang duduk anggun di belakang bendi bersama suaminya tercinta, Pak Darno beserta kedua anaknya Alim dan Nurti yang masih berusia belasan. Bendi itu akan mengantarkan mereka ke rumah baru, rumah yang begitu di idam – idamkan olehnya, rumah hasil kerja kerasnya selama lima belas tahun menjadi juragan tanah di desa tersebut. Dan kebetulah hari itu adalah tahun ke 15 usia pernikahannya. Ia mengadakan hajat besar syukuran di rumah baru itu. seluruh warga desa diundang dan terhitung ada tiga sapi yang di sembelih untuk mengadakan hajatan. sungguh suatu bentuk pagelaran kemakmuran bagi ukuran warga di desa kala itu. Ia sungguh gembira bagaikan seorang yang teramat penting, disambut banyak orang orang yang sudah berjejer rapi menghadiri pesta hajatan didepan rumah besar baru tersebut.

“Selamat ya Yu, selamat ya Mbok Dhe, selamat ya Mbak” berbagai ucapan membanjirinya

Sungguh gagah memang rumah barunya itu, sebuah rumah kayu bergaya jawa klasik yang nampak megah dengan tiang-tiang kayu jati nan kokoh berhias dengan ukiran-ukiran jepara yang tiada duanya. Sungguh wajah kepuasan dan kebanggaan nampak di wajahnya kala itu. sebuah pencapaian yang luar biasa dimasanya. Namun mengapa tiba-tiba rumah yang dilihatnya itu kabur dan lama lama menjadi gelap dan berubah kembali seperti semula, wajah-wajah haru yang mengelilinginya. Sungguh apakah ini sebenarnya, manakah ini yang nyata, mengapa ia berlalu cepat.

“Mak, cepat sembuh Mak” seru Pak alim dengan suara serak

Tak berselang lama ia merasakan bahwa salah satu tangannya dipengang oleh seseorang, genggaman itu dikenalinya, genggaman dari anak laki – lakinya yang bersimpuh disamping dari tadi. Laki – laki itu menaruh kepala diatas genggaman tangan ibunya. sang ibu yang dalam ketidakberdayaan masih bisa merasakan bulir – bulir air mata hangat jatuh di genggaman tangan itu. Dadanya tiba - tiba bergemuruh, muka sang nenek tiba – tiba mengkerut seperti orang yang hendak menangis namun wajah itu itu terlihat janggal yang terlihat hanya matanya yang kian menyipit dan muncul rembesan – rembesan kecil di pelupuknya membentuk aliran kecil.

Kemudian teringatlah ia akan segala tindak budi kepada kedua anaknya, Alim dan Nurti di tahun tahun yang telah berlalu lama. Sungguhlah penyesalan yang teramat berat dirasainya saat ini jikalau mengingat itu. Ingatlah ia bayang – bayang dirinya yang sedang memaki – maki Alim. Kala ituAlim datang menanyakan kejelasan akan tanah yang ditinggalinya kala itu. Alim hanya bertanya karena ia mendengar dari istri barunya bahwa Nurti ( saudaranya ) telah dibagi atas hak tanah rumahnya, bahkan Nurti mendapat 25 persen lebih banyak termasuk rumah itama milik ibunya.

“Mak, katanya si nurti baru saja balik nama sertifikat rumah ini ya Mak ?”

“Ia lim, kenapa ?” jawab Bu Surati

“Oh, ya syukurlah mak. Saya hanya ingin nanya  tanah rumah saya itu mak, gimana itu kapan sertifikatnya bisa saya pegang sendiri ? terus tanah yang di tegal itu jadinya milik nurti semua ya mak”

“Kamu ini gimana to Lim, masih syukur – syukur kamu masih tak beri tanah buat didirikan rumah, sertifikat mah biar aku saja yang bawa”jawab bu surati

“Saya hanya pingin kejelasannya mak, tak ada maksud lain – lain”

“Alah Lim, wes wes. Kapan – kapan saja. Kamu ini dari dulu selalu sewot dengan apa yang mak lakuin, dari duru selalu ngeyel ( membantah )”

“Tapi Mak, biar jelas. Saya iklas kok Nurti mak kasih jatah lebih banyak dari saya. Saya Cuma ingin kejelasan dari rumah saya itu mak”

“Ealah, kamu ini emang ngga bisa dibilangin yaa Lim, sudah dewasa sudah beristri masih ae tak punya sopan santun sama orang tua. Sana – sana mak mau ketemu pakdemu di pasar Jati” usir Bu surati kepada Alim kala itu

Pak Alim kala itu hanya pasrah dan sungguh heran dengan peringai ibunya yang selama ini selalu membedakan perlakuan dengan adik perempuannya, Nurti. Sejak kecil Nurti selalu dituruti segala keinginannya, sedangkan alif tak dianggap. Ia hanyalah selalu mendapat jatah sisa. Bahkan rumah megah milik ibunya itupun sudah diatas namakan kepada Nurti. Dan mungkin karena selalu dituruti dan paling dipilih kasih sama ibunya inilah yang menjadikan Nurti berani dengan ibunya itu suatu saat.

“Mak, sampean sekarang ikut saja ke rumah mas Alim. Saya sudah ngga sanggup mengurus mak. Mak selalu bikin repot keluarga saya. Sudah – sudah, sekarang giliran mas Alim yang mengurus Mak, masa harus saya terus”

“Tapi Nduk” sela bu surati

“Halah, sudah mak, bosen saya. Nanti barang – barang mak biar saya yang ngantar ke rumah mas alim”

Dan saat ini jelaslah sudah. Bu surati terusir dari istana megah masa lalunya. Ia di usir nurti anak perempuan yang paling disayanginya setelah semua yang dimilikinya diberikan pada Nurti. Dan yang lebih menyakitkan adalah Nurti bersama suaminya menjual banyak sekali tanah – tanah hasil kerja keras ibu Surati tanpa ada sedikitpun rembuk rukun bersamanya. Inilah sumber penyesalan besar dari Bu surati. Nurti benar – benar telah menenggelamkannya dalam dasar kekecewaan hidup sebesar – besarnya. Anak yang paling dicintainya ternyata yang paling keji juga meggoreskan luka dalam hidupnya.

Namun kabar – kabarnya, Nurti beberapa bulan yang lalu telah tiada. Menurut kabar ia terkena serangan jantung dan tak tertolong lagi.

***

Dilihatnya Pak Alim yang masih tertunduk disampingnya, entah tenaga dari Mana tiba – tiba terdengarlah geraman suara lemah Bu Surati yang lemah tak berdaya.

“Emmmmhhhh, leeee’’ (le = anak laki-laki) geraman bu surati

Pak Alim masih tertunduk, namun dari belakang beberapa ibu – ibu memberi tahunya

“Mas, mas, ibunya sampean bicara itu ... “

Dengan tergagap gagap pak Alim bangkit mendekatkan mukanya ke dekat muka Bu surati

“Iya Mak, cepat sembuh Mak, Alim Minta maaf ya Mak, selama ini alim selau buat susah mak” kata pak alim

Tidak nak, seharusnya yang meminta maaf adalah aku, bukan kamu. Astagfirullah, sungguh betapa kejinya aku selama ini. Anak yang kusiakan ini ternyata berhati malaikat. Sungguh buruklah peringaiku ini ya Tuhan. Ampunilah aku, aku menyesal, sungguh – sungguh menyesal Ya Tuhan. Jikalau masihlah ada kesempatan biarkanlah aku untuk meminta maaf padanya. Mudahkanlah lidah ini bersuara Ya Tuhan.

Namun percuma lidahnya sungguh terasa kaku. Air mata bu Surati deras mengalir. Pak Alim berusaha menyeka air mata di pelupuk ibunya itu. dipandangilah mata ibunya itu. dan disitu pak alif melihat pancaran insaf dari mata itu. Pak Alif hanya menganggung – ngangguk dan tak berapa lama kemudian turutlah ia menangis. Karena seseorang dihadapannya tersebut kini telah berpulang kembali kepada pemilik sejatinya.

Sumber gambar:www.dailymotion.com

No comments:

Post a Comment