Wednesday, April 29, 2015

Aku Insaf Mencintaimu

Bila diingatnya akan masa lalunya, akan buah – buah cerita karangan yang selalu diilhaminya. Apakah benar seperti inikah kenyataan yang harus benar benar diterimanya. Kenyataan yang berbilang terbalik dari semua angan yang ia telah gantungkan kepadanya. Semua rangkaian kisah yang telah ia susun dalam benaknya akan kisah hidupnya yang dicarinya, kini hanyalah puing – puing kebahagiaan semu. Sekarang telah jelas bagaimana kelanjutan akan hubungannya. Hubungannya dengan seseorang yang dikiranya kelak akan menjadi iman dalam hidupnya.

Sekarang apalah yang akan diharapkan karena semua telah jelas. Ketika cinta suci kesetiaan menjadi hal yang tak lagi bisa masuk akal. Namun sungguh apa dikata, entahlah mengapa dalam hatinya ia belum bisa menerima semua apa yang talah nyata akan perbuatan tunanganya itu. ia terheran – heran dengan dirinya sendiri bagaimana ia bisa begitu cintanya dengan orang yang tak telah melukai hatinya bertubi - tubi. Sekali dua kali mungkin wajar saja. Namun untuk kesekian kalinya dan ia masih mencintainya, apalah itu namanya. Apakah benar demikian itu yang dinamai cinta. Begitu bodoh dan butanya diri dibuat oleh itu perasaan. Alangkah buruknya apa yang bersembunyi dibalik perasaan jika demikian adanya. Ini pulalah yang sekarang dirasai oleh Dinda, yang sedang bermenung – menung dalam kamarnya. Mengingat semua apa yang telah dilakukan oleh tunangannya itu padanya kemarin malam serta kesakitan di untaian hari – hari silam.

Kemarin malam, saat ia berkehendak untuk membeli sepasang baju untuk oleh – oleh untuk kedua adiknya di sebuah kompleks pusat perbelanjaan & hotel di pusat kota jogja yang termahsyur itu. ketika telah sampai di dekat gerbang masuknya, terlihatlah sebuah mobil sedan putih. Mobil yang sangat tidak asing baginya, mobil dari seseorang yang menjadi impiannya serta ibadahnya selama ini, Hasan. Entahlah apa yang terlintas dipikirannya, terasa sedikit kejanggalan pikirnya. Tadi siang ketika hendak menyampaikan ajakannya pada Hasan untuk menemaninya. Hasan berbilang bahwa akan ada pertemuan pekerjaan penting dengan seseorang dari Surabaya hingga nanti malam. Ia berbilang bahwa jam 10.00 ia baru akan mengunjungi Dinda jikalau tak ada alang rintang menghadang. Sekarang baru setengah tujuh malam dan pertemuan seharusnya masih berjalan. 

Dinda berdiri tegak didepan gerbang plaza tersebut, matanya mengiringi gerak laju mobil itu berhenti. Dilihatnya agak begitu samar dalam kejauhan, ternyata benarlah apa yang ia duga. Itu Hasan, namun mengapa ada seorang perempuan juga turun dari mobilnya. Apakah itu orang yang dari surabaya yang dimaksudnya. Bukankah kalau tak salah ingat Dinda, hasan mengatakan kalau klien tersebut bernama Pak .... ah lupalah ingatan Dinda. Namun apa yang dilihanya kini ini apakah Pak ....dalam benak terngiang beribu suara lidah berbisik mengajak berprasangka buruk. Gejolak hati tak terbendung lagi, rasa sakit yang selama ini berusaha ditutuppinya terkoyak lagi sebegitu besarnya membekas di hatinya. Seperti tidak terima, hatinya mengajak dirinya untuk bergegas ke hotel yang tidak jauh dari tempat berdirinya sekarang ini. Meminta penjelasan, pengakuan serta kebenaran akan semua ini. Ia sungguh berharap bahwa apa yang dilihatnya tiadalah benar-benar nyata. Karena entah mengapa ada sudut kecil dihatinya yang masih akan terus berharap akan cinta dari Hasan yang sudah benar – benar jelas akan belang dalam dirinya.

Ia berjalan lemah menuju hotel itu,tak terasa air mata Dinda menetes, gemuruh perasaan dihatinya bergelut begitu hebatnya dalam hatinya. Berperanglah antara pengharapan dan kenyataan dalam dirinya. Langkah – langkahnya seperti tak tentu arah, biarlah kaki saja yang menentukan tak perdulilah ia. Kini di pelataran depan hotel tersebut. Ia hanya menerawang seperti tak percaya, dilihatnya tunangannya tersebut bergandengan tangan begitu mesranya dalam lobby sana. Ia terpaku diam di pelataran tersebut berkhidmad mencoba memahami semuanya. Dinikmatinya kesakitan itu, ditelannya sesuka hati, biarlah puas derita diri ini menanggung butanya mata hatinya. Hilir mudik orang turun dari mobil mereka menuju hotel tak adapun dipedulikannya, bahkan sapaan santun dari karyawan hotelpun tak ditanggapinya. Hanya senyuman getir dibalaskan pada karyawan tersebut. 

Setelah sekian lama masuklah ia kedalam hotel tersebut, ditanyainya receptionis hotel tersebut mengenai seseorang yang bernama Hasan adakah benar menyewa kamar di hotel tersebut. Dibenarkanlah keterangan tersebut, Dinda mencoba menanyakan di kamar mana Hasan berada, namun apalah guna karena barang tentu hotel bintang lima seperti ini tak akan pernah memberitahukan informasi pribadi akan para tamu-tamunya. Dindapun mengetahui hal ini, pikirnya barangkali sang resceptionis tersebut berbelas kasih atau sekali akan khilaf memberitahunya. Iapun menuju sebuah sofa di sudut lobby yang tak terlihat dari arah dalam. Berduduklah ia disana sambil memutar balik segala ingatannya akan kisah dirinya bersama Hasan, satu demi satu dicoba di bukakan bebal benang dalamnya. Dalam kesendirian tersebut terkadang ia tersenyum getir, tertawa tiada jelas, dan terkadang muram serta sesal saja tegambar di raut mukanya kala itu.

Jam sudah menunjukkan pukul 9.15 malam, Dinda telah sadar akan keadaannya. Kendalinya sudah terjaga dan yang terpenting ia sudah memiliki keputusan dalam hatinya. Tak berapa lama terlihatlah olehnya Hasan dengan wanita tersebut di Receptionis, gelegak tawa ringan menghiasi diri mereka. Dinda benar – benar muak melihat semua itu berdirilah ia. Kemudian dihampirinya Hasan yang tengah beranjak menuju pintu keluar.

“Hasan”Panggil dinda dari belakang. 

Hasanpun berbalik mengikutu arah suara itu berasal. Terkejutlah ia akan sesaat. Dan bingunglah wanita disampingnya, dan sepertinya menanyakan sesuatu kepada Hasan dengan berbisik pelan. 

entahlah, saya tak tahu

Tertusuk sedalam – dalamnyalah hati Dinda mendengar kata – kata itu, tak sanggup lagi ia berkata – kata, air mata telah bengalir deras dimatanya. Diambilnyalah cincin pertunanagan di jarinya. Dan dilemparkanlah cincin itu kepada Hasan, dan berlarilah ia keluar dari hotel itu. mencari taxi untuk mengantarnya pulang ke Kostnya. Hasan sembari tadi hanya tercengang saja, seperti tak memahami apa yang telah terjadi. Bodohnya pria tersebut, yang menganggap perasaan sebagai permainan belaka. Dan membiarkan berlian jatuh kedalam derasnya arus sungai. Semalaman itu menangislah dinda dalam kamarnya, dering telpon maupun pesan dari Hasan tak tihiraukannya lagi. Baginya cukup, cukup sudah semua kesakitan dari pria bernama Hasan itu. ia benar – benar insaf. Dan tak ingin lagi memberikan kesempatan perasaan cinta tersebut berkembang lagi. Meskipun tak tipungkiri pula bahwa ada sudut kecil dihatinya yang telah terpatri akan diri hasan yang tak akan pernah ia bisa hapuskan. 

            Pagi tadi sempat dibukannya berbagai pesan dari hasan di Media sosial maupun di pesan instan. Permohonan maaf, itulah semua yang tertulis, ia sangat menyesal. Dinda telah bulat, pertunangan ini tak bisa dilanjutkan lagi. Kardus telah siap, dan akan diantarkanlah Kardus itu tadi ke Kontrakan Hasan di Jogja. Biarlah semua kenangan maupun harapan yang tersimpan dalam kardus tersebut dibalikkan kepada pemberinya. Seseorang yang belum memahami akan kesetiaan dan pengorbanan cinta dari seseorang. Biarlah Tuhan yang akan mengajari dan menyadarkan akan kebebalannya itu.

No comments:

Post a Comment