Bila
diingatnya akan masa lalunya, akan buah – buah cerita karangan yang selalu diilhaminya.
Apakah benar seperti inikah kenyataan yang harus benar benar diterimanya.
Kenyataan yang berbilang terbalik dari semua angan yang ia telah gantungkan
kepadanya. Semua rangkaian kisah yang telah ia susun dalam benaknya akan kisah
hidupnya yang dicarinya, kini hanyalah puing – puing kebahagiaan semu. Sekarang
telah jelas bagaimana kelanjutan akan hubungannya. Hubungannya dengan seseorang
yang dikiranya kelak akan menjadi iman dalam hidupnya.
Sekarang
apalah yang akan diharapkan karena semua telah jelas. Ketika cinta suci
kesetiaan menjadi hal yang tak lagi bisa masuk akal. Namun sungguh apa dikata, entahlah mengapa dalam hatinya ia belum bisa menerima semua apa yang talah
nyata akan perbuatan tunanganya itu. ia terheran – heran dengan dirinya sendiri
bagaimana ia bisa begitu cintanya dengan orang yang tak telah melukai hatinya
bertubi - tubi. Sekali dua kali mungkin wajar saja. Namun
untuk kesekian kalinya dan ia masih mencintainya, apalah itu namanya. Apakah
benar demikian itu yang dinamai cinta. Begitu bodoh dan butanya diri dibuat
oleh itu perasaan. Alangkah buruknya apa yang bersembunyi dibalik perasaan jika
demikian adanya. Ini pulalah yang sekarang dirasai oleh Dinda, yang sedang
bermenung – menung dalam kamarnya. Mengingat semua apa yang telah dilakukan
oleh tunangannya itu padanya kemarin malam serta kesakitan di untaian hari –
hari silam.
Kemarin
malam, saat ia berkehendak untuk membeli sepasang baju untuk oleh – oleh untuk
kedua adiknya di sebuah kompleks pusat perbelanjaan & hotel di pusat kota
jogja yang termahsyur itu. ketika telah sampai di dekat gerbang masuknya,
terlihatlah sebuah mobil sedan putih. Mobil yang sangat tidak asing baginya,
mobil dari seseorang yang menjadi impiannya serta ibadahnya selama ini, Hasan.
Entahlah apa yang terlintas dipikirannya, terasa sedikit kejanggalan pikirnya.
Tadi siang ketika hendak menyampaikan ajakannya pada Hasan untuk menemaninya.
Hasan berbilang bahwa akan ada pertemuan pekerjaan penting dengan seseorang
dari Surabaya hingga nanti malam. Ia berbilang bahwa jam 10.00 ia baru akan
mengunjungi Dinda jikalau tak ada alang rintang menghadang. Sekarang baru
setengah tujuh malam dan pertemuan seharusnya masih berjalan.
Dinda
berdiri tegak didepan gerbang plaza tersebut, matanya mengiringi gerak laju
mobil itu berhenti. Dilihatnya agak begitu samar dalam kejauhan, ternyata
benarlah apa yang ia duga. Itu Hasan, namun mengapa ada seorang perempuan juga
turun dari mobilnya. Apakah itu orang yang dari surabaya yang dimaksudnya.
Bukankah kalau tak salah ingat Dinda, hasan mengatakan kalau klien tersebut
bernama Pak .... ah lupalah ingatan Dinda. Namun apa yang dilihanya kini ini
apakah Pak ....dalam benak terngiang beribu suara lidah berbisik mengajak
berprasangka buruk. Gejolak hati tak terbendung lagi, rasa sakit yang selama ini
berusaha ditutuppinya terkoyak lagi sebegitu besarnya membekas di hatinya. Seperti
tidak terima, hatinya mengajak dirinya untuk bergegas ke hotel yang tidak jauh
dari tempat berdirinya sekarang ini. Meminta penjelasan, pengakuan serta
kebenaran akan semua ini. Ia sungguh berharap bahwa apa yang dilihatnya
tiadalah benar-benar nyata. Karena entah mengapa ada sudut kecil dihatinya yang
masih akan terus berharap akan cinta dari Hasan yang sudah benar – benar jelas akan
belang dalam dirinya.
Ia
berjalan lemah menuju hotel itu,tak terasa air mata Dinda menetes, gemuruh
perasaan dihatinya bergelut begitu hebatnya dalam hatinya. Berperanglah antara
pengharapan dan kenyataan dalam dirinya. Langkah – langkahnya seperti tak tentu
arah, biarlah kaki saja yang menentukan tak perdulilah ia. Kini di pelataran
depan hotel tersebut. Ia hanya menerawang seperti tak percaya, dilihatnya
tunangannya tersebut bergandengan tangan begitu mesranya dalam lobby sana. Ia terpaku
diam di pelataran tersebut berkhidmad mencoba memahami semuanya. Dinikmatinya kesakitan
itu, ditelannya sesuka hati, biarlah puas derita diri ini menanggung butanya
mata hatinya. Hilir mudik orang turun dari mobil mereka menuju hotel tak adapun
dipedulikannya, bahkan sapaan santun dari karyawan hotelpun tak ditanggapinya. Hanya
senyuman getir dibalaskan pada karyawan tersebut.
Setelah
sekian lama masuklah ia kedalam hotel tersebut, ditanyainya receptionis hotel
tersebut mengenai seseorang yang bernama Hasan adakah benar menyewa kamar di
hotel tersebut. Dibenarkanlah keterangan tersebut, Dinda mencoba menanyakan di
kamar mana Hasan berada, namun apalah guna karena barang tentu hotel bintang
lima seperti ini tak akan pernah memberitahukan informasi pribadi akan para
tamu-tamunya. Dindapun mengetahui hal ini, pikirnya barangkali sang resceptionis
tersebut berbelas kasih atau sekali akan khilaf memberitahunya. Iapun menuju
sebuah sofa di sudut lobby yang tak terlihat dari arah dalam. Berduduklah ia
disana sambil memutar balik segala ingatannya akan kisah dirinya bersama Hasan,
satu demi satu dicoba di bukakan bebal benang dalamnya. Dalam kesendirian
tersebut terkadang ia tersenyum getir, tertawa tiada jelas, dan terkadang muram
serta sesal saja tegambar di raut mukanya kala itu.
Jam sudah
menunjukkan pukul 9.15 malam, Dinda telah sadar akan keadaannya. Kendalinya sudah
terjaga dan yang terpenting ia sudah memiliki keputusan dalam hatinya. Tak berapa
lama terlihatlah olehnya Hasan dengan wanita tersebut di Receptionis, gelegak
tawa ringan menghiasi diri mereka. Dinda benar – benar muak melihat semua itu
berdirilah ia. Kemudian dihampirinya Hasan yang tengah beranjak menuju pintu
keluar.
“Hasan”Panggil
dinda dari belakang.
Hasanpun berbalik mengikutu arah suara itu berasal. Terkejutlah
ia akan sesaat. Dan bingunglah wanita disampingnya, dan sepertinya menanyakan
sesuatu kepada Hasan dengan berbisik pelan.
“entahlah, saya tak tahu”
Tertusuk sedalam –
dalamnyalah hati Dinda mendengar kata – kata itu, tak sanggup lagi ia berkata –
kata, air mata telah bengalir deras dimatanya. Diambilnyalah cincin pertunanagan
di jarinya. Dan dilemparkanlah cincin itu kepada Hasan, dan berlarilah ia
keluar dari hotel itu. mencari taxi untuk mengantarnya pulang ke Kostnya. Hasan
sembari tadi hanya tercengang saja, seperti tak memahami apa yang telah
terjadi. Bodohnya pria tersebut, yang menganggap perasaan sebagai permainan
belaka. Dan membiarkan berlian jatuh kedalam derasnya arus sungai. Semalaman itu
menangislah dinda dalam kamarnya, dering telpon maupun pesan dari Hasan tak tihiraukannya
lagi. Baginya cukup, cukup sudah semua kesakitan dari pria bernama Hasan itu.
ia benar – benar insaf. Dan tak ingin lagi memberikan kesempatan perasaan cinta
tersebut berkembang lagi. Meskipun tak tipungkiri pula bahwa ada sudut kecil
dihatinya yang telah terpatri akan diri hasan yang tak akan pernah ia bisa
hapuskan.
Pagi tadi sempat dibukannya berbagai pesan dari hasan di Media sosial maupun di pesan instan. Permohonan maaf, itulah semua yang tertulis, ia sangat menyesal. Dinda telah bulat, pertunangan ini tak bisa dilanjutkan lagi. Kardus telah siap, dan akan diantarkanlah Kardus itu tadi
ke Kontrakan Hasan di Jogja. Biarlah semua kenangan maupun harapan yang tersimpan
dalam kardus tersebut dibalikkan kepada pemberinya. Seseorang yang belum
memahami akan kesetiaan dan pengorbanan cinta dari seseorang. Biarlah Tuhan yang akan mengajari dan menyadarkan akan kebebalannya itu.
No comments:
Post a Comment