Sudah terbilang lama bagiku tidak menilik
kampung halamanku. Bakalan, desa kecil di tepian sungai bengawan solo di
Bojonegoro, Jawa timur. Desa damai dengan hamparan sawah nan luas. Desa
dimana beras dihasilkan dan pertanian menjadi tumpuan serta harapan
bagi kehidupan penduduknya. Di sini mayoritas penduduknya petani. Dan
kebanyakan sudah berusia tidak muda karena para pemudanya lebih tertarik
untuk bekerja di kota.
Dikala pagi datang, para petani di kampungku sudah bergegas beranjak
ke sawah untuk mengurusi tanaman padinya. Banyak diantaranya berangkat
ketika hari masih gelap, berduyun - duyun. Apalagi saat musim ini,
banyak yang bekerja harian untuk mencabut tanaman gulma. Mereka bekerja
dari pagi sehabis subuh sampai siang menjelang dzuhur. Mereka dibayar
harian dan kebanyakan adalah ibu - ibu.
Pagi itu sekitar jam 6, aku sedang lari - lari menyusuri jalan kecil
persawahan dekat rumahku. suasana masih berkabut dan cahaya mentari
belum begitu nampak. Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil
“ Mas Agus kapan datang ?” sapa seseorang.
Kemudian kulihat kearah suara itu berasal, ternyata itu suara Pak Listyono (Kepala desa). kemudian kujawab
“ Eh Pak Lurah, semalam pak sampai rumah, lagi apa Pak ?” tanyaku.
“ Ini, sedang mengantar sarapan buat ibu-ibu yang kerja ”.
jawab beliau sambil mencabuti rumput di sawah miliknya bersama ibu - ibu
yang kerja.
Diantara ibu - ibu itu kulihat Lek Fatonah tetangga dekat
Ku. Beberapa saat kemudian Pak lurah mengajak ibu-ibu itu untuk sarapan.
Mereka duduk di pematang sawah. Pak lurah tak ikut sarapan namun
berbincang denganku di dekat ibu - ibu itu. Sekedar berbincang ringan,
Ini itu.
“ Pak lurah ini hebat, meskipun jadi seorang lurah dan pengusaha, masih sempat - sempatnya ngurus sawah juga” tanyaku
(selain kepala desa beliau juga memiliki usaha percetakan dan sewa menyewa peralatan event). Ia tersenyum, kemudian menjawab
“ya beginilah mas, lha memang aslinya petani dan hidup juga dari pertanian”.
Begitulah
Ia, sederhana tidak menampakkan kehebatannya maupun Jaim akan
jabatannya. Semangat pengabdiannya tak perlu diragukan, berbagai program
penyaluran dana dari pemerintah digunakannya untuk memperbaiki berbagai
prasarana desa. Ia sudah dua periode memimpin kampung dan ini adalah
tahun ke enamnya.
Sesaat kemudian lek Fatonah bergabung untuk sekedar bertukar kabar
sebelum kembali lagi bekerja. Sungguh wanita hebat meskipun dalam
kesulitan, ia masih begitu semangatnya untuk mencari nafkah bagi
keluarganya. Rasa syukur kentara di wajahnya. setelah cukup lama
berbincang akupun berpamitan dan beranjak pergi untuk melanjutkan lari
pagi.
Begitulah kehidupan kampung ini. Kampung yang menyuguhkan semangat
kerja keras, kesederhanaan serta rasa syukur bagi penghuninya. Mungkin
sudah terlalu sering terdengar akan kebobrokan para petinggi negeri ini
korupsi,kolusi,penyelewengan dan lainnya yang kian menyesakkan hati.
Seakan tiada harapan lagi. Namun hal - hal sederhana tadi seolah - olah
memberikan harapan. Bahwa sebenarnya di negeri ini masih banyak orang
baik, pemimpin baik yang sungguh - sungguh ingin membaikkan negeri ini.
Dan semoga lilin - lilin harapan seperti ini semakin banyak dan mampu
mengurai gelapnya negeri ini.
No comments:
Post a Comment