Saturday, November 21, 2015

Little Darling

Kenapalah acapkali seseorang bergelimang duka dengan masa lalu. Kesedihan, ratapan hingga perih tak bermuara kadang harus di lalui dalam diri. Namun, apakah yang membuat semua itu layak dan memiliki arti. Tak sedikitpun kecuali hanya berakhir pada dada sesak membungkus lara itu tadi. Masa lalu serupa kenangan, suka maupun tidak ia akan selalu mengikuti setiap jalan hidup meskipun kau berlari sampai ke ujung langit, takkan pernah mampu untuk menghindarinya. Terima sajalah lalu biarkan terlepas.

Sore itu di jalan selatan kota Jogja, Terlihat iring – iringan tiga bus berukuran sedang yang membawa rombongan mahasiswa yang hendak menjalani makrab jurusan. Mereka adalah mahasiswa jurusan Geografi dari sebuah kampus negeri di Kota Jogja. Bus–bus tersebut mengarah ke pantai parangkusumo. Hari sudah menunjukkan pukul 4 sore ketika rombongan tersebut sampai di lahan parkiran. Perlahan satu persatu pintu bus terbuka, terlihat pertama orang yang keluar itu adalah seorang Pemuda berusia sekitar 21 tahunan dangan seragam kaos polo merah yang membawa backpack kecil. Perawakannya sedang dengan wajah khas orang melayu. Dialah Danis, mahasiswa semester 5 dari palembang. Dialah yang mengetuai acara ini. Dari raut mukanya dia nampak orang yang Calm.

Semua peserta serta panitia telah turun dari bus, segeralah mereka berbaris rapi menuju gumuk pasir parangkusumo yang lokasinya tak begitu jauh dari parkiran tersebut. Ada 80 peserta serta 50 panitia dalam acara ini. Para peserta terlihat riang-riang saja, ini tidak lebih adalah acara makrab kekeluargaan dan tak ada kekerasan sama sekali.

Sejak Turun dari Bus Danis tak banyak bicara, ia hanya berkata seperlunya saja memberikan instruksi kepada seluruh panitia dan ketua lapangan acara ini, karena semua pekerjaan teknis memimpin acara sudah diplotkan ke Jordan Sebagai Ketua lapangan. Tak ada pekerjaan teknis baginya sore itu. Jadi ia lebih banyak untuk mengawasi teman – teman panitia dari kejauhan. Semua peserta beserta pendamping terlihat berbaris rapi menuju lokasi perkemahanr. Kala itu ia berada di belakang dan sengaja memautkan diri agak jauh dari rombongan. Ia berjalan santai menikmati matahari sore yang perlahan – lahan mulai menampakkan cahaya keemasan. Angin pantai pun tak mau kalah, ia berhembus cepat menembus pohon – pohon cemara yang tumbuh sepanjang jalan. Bulan september adalah salah satu moment yang bagus untuk melihat keindahan sunset di pantai ini.

Dari arah belakang terdengar suara motor mendekat ke arahnya, Danis masih terpesona dengan keindahan sore Parangkusumo. Semakin dakat tiba–tiba ia dibuat kaget oleh suara klakson motor tersebut.

tiiit titt

“Sialan” gerutu danis dalam hati, kemudian ditengoknya arah belakang.
“Mas Danis, Jangan kebanyakan nglamun lo” suara seorang perempuan
Ternyata Risa, panitia konsumsi. Mahasiswi semester 3 dari Bandung
“Butuh boncengan ga Mas” sapanya dengan wajah ceria
“Duluan saja Ris” jawab Danis dengan senyum yang dipaksakan
“Okelah Mas, daaa” Risapun berlalu mengejar rombongan

Percaya atau tidak, telah lama diam–diam Risa menaruh hati pada Danis semenjak mengenal pemuda itu semenjak Ospek. Namun sayang gayung itu belum bersambut jua, namun Risa tak pernah padam. Ia hanya mencoba menaruh harapan.Danispun sebenarnya sudah mengetahui bahwa Risa menaruh hati padanya, namun ia tak memberi tanggapan apapun akan hal tersebut.

Entahlah Mengapa suasana sore itu membawa pikiran Danis pada seorang perempuan yang telah membekukan hatinya. Seseorang bernama Indah yang hadir pada tahun terakhir SMA. Seseorang yang mampu membuat Danis rela melakukan apapun dan yang telah membuat hatinya gelap diliput kabut. Apalah yang istimewa dari Indah pikirnya. Rasa benci ataukah masih ada perasaan padanya. Ia sendiri masih kabur memahami ini. Bukankah di Jogja ribuan mahasiswi cantik menjamur di tiap – tiap sudut. Lagipula soal penampilan dia juga tidak begitu jelek, malah banyak lawan jenis yang memuji tampangnya. Kadang ia menertawai dirinya sendiri. Sungguh konyol, tapi begitulah kenyataannya.

Malam itu cuaca cerah, langit malam berhias bulan sabit bersama bintang – bintang kemilauan menampakkan keindahannya. Semua peserta terlihat membentuk sebuah lingkaran besar di gumuk pasir malam itu. masing masing dari mereka membawa senter dan di tengah lingkaran tersebut tersulut puluhan lilin besar yang berlindungkan cerobong kaca  membentuk piringan besar seperti api unggun. Malam sudah nampak sepi, meskipun waktu baru berada pada angka 9 malam. Yang terdengar hanyalah suara semilir angin malam dari laut selatan. Sudah saatnya acara perenungan, dimana sehabis matahari tenggelam hingga sekarang mereka telah melakukan bermacam kegiatan seperti games serta solidarity time yang lumayan menguras tenaga.

Sang pembawa acara sudah berada di tengah lingkaran, ia sepertinya sudah bersiap dengan berbagai cerita maupun gombalan sandiwara untuk disuguhkan kepada mahasiswa – mahasiswa tersebut seperti tahun-tahun sebelumnya. Danis beserta panitia lain berada dibelakang peserta. Mungkin ini akan sedikit memberikan hiburan baginya. Tak jauh, terlihat Risa yang dari tadi mencuri pandang pada Danis. Dilihatnya Danis Malam itu dengan samar–samar, wajah yang tertampak cahaya lilin itu begitu memesona hatinya. Lain halnya dengan Danis yang pandangannya  tertuju pada lilin–lilin di tengah sana. Ia sibuk bergumul dengan pikirannya.

Mengapa dulu kukenal Indah, mengapa ku mengenalnya dan bodohnya mengapa ku mencintainya. Mengapalah ia tak mau pergi dari pikiran ini, apalah yang salah denganku ini ? banyak wanita yang menanti, namun tetap saja perempuan satu ini selalu datang membayang” Pikirannya masih menerawang, sampai beberapa saat sebelum tersadar kembali logikanya.

Terdengarlah suara pembawa acara yang mencoba membuat suasana menjadi lebih hening dan Khidmad ”....terimalah masa lalu yang sudah terlampau, biarlah ia mengalir ke muara, jangan kau halangi jalannya dengan egomu. hidupmu adalah sekarang, bahagiamu ada di depan ...”kata pembawa acara.

Betapa bodoh seorang lelaki memikirkan perempuan yang berkhianat, betapa bodoh seorang lelaki yang bergelut dengan perasaan menciutkan, betapa bodoh lelaki yang lupa akan rahmat sekarang dan harapan masa depan, Oh God. How stupid me....”

Setelah perenunungan, seluruh peserta di persilahkan untuk istirahat sembari menunggu jam 12. Mereka diminta untuk tidur di lautan pasir ituataupun kalau tidak bisa menikmati suguhan langit malam. Semua panitia mulai bersiap untuk kegiatan selanjutnya, yakni perjalanan menuju bukit Gupit. Bukit ini berada di sebelah timur parangtritis dan memerlukan waktu tempuh berjalan kaki selama satu jam dari parkir kendaraan. Beberapa diantara panitia sudah sibuk mempersiapkan pos dalam perjalanan. Semua panitia yang tidak mendampingi peserta mulai berjalan duluan untuk menempati pos mereka. Dan kebetulan Danis dan Risa menempati pos yang sama di pos terakhir yang ada di dekat puncak Gupit.

Mereka berjalan beriringan bersama teman teman panitia yang lain, mereka memilih berjalan dibelakang. Awalnya risa terlihat bersemangat untuk memperturut rute jalan yang lumayan terjal dan panjang itu, ia beberapa langkah didepan Danis ingin mengejar teman yang lain. Danis terheran, sungguh lucu melihat tingkah perempuan di depannya ini, ia hanya senyum-senyum sendiri di perjalanan itu, namun senyum itu tersamarkan oleh gelap malam tanpa penerang. Risa tak mengetahui hal tersebut. Beberapa saat kemudian dilihatnya risa berhenti berjalan. Dilihanya ia nampak kelelahan mendaki jalan bukit tersebut. Nafasnya terengah - engah.

“Mas, pos kita masih jauh tidak ?” katanya
“masih lumayan Ris” jawab Danis dengan senyum tersamar
“Lumayan jauh ?”
“ya begitulah, masih ada tiga tanjakan lagi” jawab danis
“Mampus”

Mereka berdua mulai jalan lagi, Danis berjalan santai saja. Beberapa teman panitia sudah menempati pos mereka masing - masing. Risa ada di depan, tak berselang lama ia kembali berhenti.

“Mas, istirahat aja dulu ya, sumpah capek banget”
“tinggal satu tanjakan Ris, nanggung banget berhenti disini” jawab Danis terkekeh
“aduh, sebentar ajalah mas”
“di depan situ pemandangannya bagus lo, pos kita ada di situ”
“huh...” gerutu risa mulai melangkahkan kaki. Ia terpaksa daripada ditinggal sendirian

Merekapun kembali berjalan menapaki tanjakan terakhir, risa tak mau kalah ia tak ingin dianggap lemah, ia berjalan buru – buru didepan.
“santai aja Ris”

Danis tersenyum saja. Dan kemudian teringat kebajikan bahwa kala mendaki sebuah gunung ataupun yang serupa, akan terlihat bagaimana sifat asli orang tersebut. Ia melihat tingkah Risa yang kelihatan childish itu dan tak sadar bahwa perlahan timbul benih suka dihatinya. Segeralah Danis mendekati Risa yang berjalan semakin melamban karena terengah – engah.

“Biar aku yang bawa ranselmu” sergah Danis mengambil tas Risa di punggungnya. Risa tak menjawab, ia hanya menunduk kelelahan dan sepertinya mengiyakan. Ia berpikir sejenak apakah ini sinyal dari Danis.

Tanjakan terakhir memang yang paling berat, Risa seolah sudah tak mampu lagi berjalan

“Masih jauh mas ?”
“Udah deket kok, santai aja ris, Gak usah terburu – buru”

Tiba–tiba Risa menggamit lengan Danis untuk berpegangan, dirasainya lengan dan jari pemuda itu. Danis hanya diam, pikirannya mencair seolah kebekuan masa lalunya mencair seketika itu juga. Digenggamnya erat tangan Risa dan dibantunya ia naik keatas. Dan tak berselang lama sampailah mereka di pos puncak. Sembari menunggu kedatangan peserta ke pos mereka menjulurkan kaki di dekat tebing itu menikmati keindahan kerlap kerlip lampu kawasan parangtritis yang begitu indah dari bukit atas sana.

Hati itu telah mencair

Menjelang pukul 2 malam, terlihat dalam bayang-bayang berlatarkan cahaya kerlipan lampu, Dua sosok tersebut telah bersanding dalam sebuah ikatan perasaan. Mungkin memang sudah saatnya untuk melepaskan yang telah berlalu.

Dan pagi itu mentari tampak begitu indah, dan semua peserta seolah tersenyum dipagi itu kepadanya. Entahlah...


(Terinspirasi dari lagu The beatles - Here Come the Sun)

No comments:

Post a Comment